SUNNAH
( السنّة)
Sunnah secara
bahasa adalah jalan yang tepuji. Secara istilah adalah sabda,
perbuatan dan ketetapan Nabi صلى
الله عليه وسلم. Sunnah terbagi menjadi 3 : Sunnah Qauliyyah, Sunnah Fi'liyyah
dan Sunnah Taqririyyah
KEHUJAHAN
SUNNAH :
Para Ulama’ sepakat bahwa sunnah adalah sebagai hujjah
yang mampu menghalalkan atau mengharamkan. Sebagaimana dalam al- Qur’an Allah تعالى berfirman:
!!$tBur ãNä39s?#uä ãAqß§9$# çnräãsù $tBur öNä39pktX çm÷Ytã (#qßgtFR$$sù 4
Artinya : "Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka
terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah." [QS.
al-Hasyr : 59/7]
`¨B ÆìÏÜã tAqß§9$# ôs)sù tí$sÛr& ©!$# (
Artinya : "Barangsiapa yang
mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah." [QS.
an-Nisa' : 4/80]
Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:
ألا وإنّي أوتيتُ القُرْآنَ ومثله معه
(رواه أبو داود والترمذي)
Artinya :
"Ingatlah bahwasanya aku telah diberi al-Qur’an dan yang semisal al-Qur’an
bersamanya." [HR. Abu Daud dan Tirmidzy]
Maksudnya aku
deberi sesuatu yang sama dengan Al-Qur’an berupa Sunnah, ketika al-Qur’an tidak
membahasnya. Karena itu para Ulama’ mengata-kan,
“Jika Sunnah sudah jelas bagi seseorang, maka ia tidak boleh meninggalkan dikarenakan
perkataan seseorang.”
SUNNAH QAULIYYAH :
Sunnah Qauliyyah
dinamakan juga "Khabar".
Macam-macam
Khabar:
Khabar terbagi menjadi tiga :
Pertama, Khabar yang pasti benar. Contoh: berita dari Allah
dan berita Rasul yang mutawatir.
Kedua, Khabar yang pasti bohong. Contoh: berkumpulnya dua
perkara yang bertentangan, berita yang tidak sesuai dengan ketetapan syari’at.
Ketiga, Khabar yang tidak bisa dipastikan benar atau
bohongnya. Khabar ini ada tiga macam:
- Khabar
yang tidak bisa dibenarkan atau dibohongkan. Contoh: Khabar yang tidak
jelas.
- Khabar yang kemungkinan benarnya lebih banyak
daripada bohongnya. Contoh: Khabar orang adil.
- Khabar yang kemungkinan bohongnya lebih banyak
daripada benarnya. Contoh: Khabar orang fasiq.
KHABAR
MUTAWATIR & KHABAR AHAD:
KHOBAR
MUTAWATIR
Mutawatir secara
bahasa adalah datangnya perkara secara berurutan. Contoh: Orang-orang berurutan
ketika dating satu persatu. Sedangkan secara istilah adalah khabar yang
diriwayatkan oleh sekelompok orang yang tidak mungkin mereka sepakat untuk
berbohong, karena saking banyaknya orang tersebut.
Syarat-Syarat
Mutawatir :
-
Para Perawi mengetahui secara pasti yaitu dengan cara menyaksikan
atau mendengar langsung. Karena jika tidak demikian, akan ada kemungkinan
keliru. Bahkan seandainya penduduk suatu daerah sepakat dalam satu masalah,
misal “Alam ini Baru”, maka kita tidak boleh percaya begitu saja, kecuali jika
mereka mampu mendatangkan bukti.
-
Para Perawi mencapai jumlah tertentu pada setiap tingkatan (level).
Mereka meriwayatkan dari para Perawi yang mencapai jumlah tertentu, kemudian
sampai pada Mukhbar Ánhu (hadits yang diriwayatkan).
-
Jumlah Rawi sampai kepada bilangan yang menurut kebiasaan
bilangan tersebut dapat mencegah (kemungkinan untuk) berbohong. Dan tidak ditentukan oleh
jumlah tertentu. Namun yang menjadi patokan adalah kepastian akan diketahui (benarnya
khabar tersebut). Jika sudah demikian, maka kita tahu bahwa khabar tersebut
adalah mutawatir. Jika tidak, berarti bukan.
Contoh-Contoh
(Hadits) Mutawatir :
اتّقوا الحديثَ عنّي إلاّ ما علمتم
فمن كذب عليَّ متعمّداً فليتبوّأْ مقعده من النار
Artinya : “Takutlah tentang hadits
dariku kecuali yang kalian ketahui. Barang siapa berbohong atas namaku dengan
sengaja, hendaknya ia menduduki tempat duduknya dari neraka.”
Imam Nawawi
menukil bahwa hadits ini telah diriwayatkan oleh 200 shahabat.
أُنْزِل القرآن على سبعة أحرفٍ
فاقرءوا ما تيسّر منه
Artinya :
“Telah diturunkan al-Qur’an kepadaku dalam 7 huruf, maka bacalah yang mudah
darinya”
KHABAR
AHAD :
Ahad adalah kebalikan Mutawatir, terbagi menjadi 3
(tiga), yaitu:
-
Shahih
adalah hadits yang sanadnya sambung dan diriwayatkan oleh para Perawi yang
adil, kuat hafalannya tanpa ada kejanggalan dan tidak ada íllat yang tercela. Contohnya adalah hadits-hadits shahih Imam Bukhary dan
Imam Muslim. Hadits shoheh
bisa digunakan sebagai hujjah.
-
Hasan
adalah hadits yang tingkat kemasyhuran Rawinya di bawah tingkatan kemasyhuran
Rawinya hadits shahih. Contoh:
إتّق الله حيثما كنتَ وأتبع
السّيّئة الحسنة تمحها وخالق النّاس بخلقٍ
حسنٍ (رواه الترمذي وحسنه)
Artinya : "Bertakwalah kepada Allah تعالى di mana saja
kalian berada, dan ikutkanlah keburukan dengan kebaikan, maka kebaikan tersebut
akan menghapus keburukan tersebut. Dan berakhlaqlah (bergaullah) kepada manusia
dengan akhlaq yang bagus (baik)." [HR. Tirmidzy, dan beliau meng-hasan-kannya]. Hadits hasan juga bisa sebagai
hujjah.
-
Dha’if
adalah hadits yang derajatnya di bawah hasan. Tidak bisa dijadikan sebagai hujjah
dalam menentukan suatu hukum. Imam Nawawi berkata: "Para Ulama’ sepakat
bahwa hadits Dha'if bisa digunakan dalam fadhilah amal." Ulama’ Muhaqqiq
berkata: "Amal disini maksudnya adalah boleh meriwayatkan dan menjadikan
hadits tersebut sebagai dalil fadhilah amal bukan sebagai dalil pokok dalam suatu
amalan. Jika ada hadits yang menerangkan tentang wajib atau sunnahnya suatu
amalan, kemudian ada hadits juga yang menerangkan tentang fadhilah amalan tersebut
(wajib/sunnah), tetapi dhaíf, maka boleh dijadikan sebagai dalil dalam fadilah
amal tersebut. Sehingga kedudukannya sebagai tabi’ pada dalil yang menunjukkan
wajib atau sunnahnya amalan. Jika hadits tersebut ternyata shahih, berarti
telah menunaikan hak amalan itu. Dan apabila tidak, maka tidak sampai pada
tingkatan menghalalkan atau mengharamkan. Dari sini
boleh
menggunakan hadits (dha'if) yang menerangkan mengenai
fadhilah shalat, fadilah puasa, fadilah dzikir. Karena dalil amalan ini sudah
diterangkan/ditetapkan oleh hadits-hadits yang shahih.
SUNNAH FI’LIYAH :
Perbuatan Rasulullah
صلى الله عليه وسلم terbagi menjadi
beberapa bagian :
-
Perbuatan yang timbul dari lintasan hati dan gerakan yang
bersifat manusiawi. Misalkan penggunaan dan gerakan anggota badan dan jasad.
Ini tidak ada kaitannya dengan perintah untuk mengikuti atau larangan untuk menjauhi.
Akan tetapi perbuatan tersebut hanya menunjukkan bahwa hal itu boleh dilakukan.
-
Perbuatan yang tidak ada kaitannya dengan ibadah dan
penjelasan watak. Misalkan duduk, berdiri, dll. Hal seperti ini tidak ada
bahaya untuk meninggalkan atau mengikuti. Menurut Jumhurul Ulama’: Hal yang
demikian menunjukkan boleh dilakukan.
-
Perbuatan yang ada kemungkinan keluar dari watak, kemudian
dijadikan untuk pensyariatan dikarenakan terus-menerus (selalu) dikerjakan oleh
Nabi dengan cara yang biasa diketahui dan dengan cara yang khusus. Misalkan: masalah
makan, minum, memakai pakaian, tidur. Perbuatan ini tampak tingkatannya di bawah
qurbah (ibadah mendekatkan diri di hadapan Allah تعالى ), di atas kebiasaan watak. Dalam hal ini ada dua pendapat
menurut para Ulama’:
Pertama, apakah ia dikembalikan menurut asal perbuatan itu (yakni
bukan untuk tasyri’)? atau
Kedua, dikembalikan kepada dhohirnya (yakni untuk tasyri’)? Contoh:
كان النبيّ صلى الله عليه وسلّم يأكل
خبزَ الشّعير غير منخول (رواه البخاري)
Artinya : Nabi صلى الله عليه وسلم makan roti tepung
(syaír) yang tidak diayak [HR. Imam Bukhary]
و كان النبيّ صلى الله عليه وسلّم
يلبس قميصًا فوق الكعبَيْنِ (رواه الحاكم وصححه)
Artinya : Nabi صلى الله عليه وسلم memakai gamis di atas
mata kaki. [HR. Hakim dan Beliau meng-shahih-kannya]
-
Perbuatan yang hanya khusus bagi Beliau. Contohnya menikah
lebih dari empat. Ini adalah keistimewaan Beliau. Selain Beliau, tidak ada yang
boleh menyamainya.
-
Perbuatan yang menjelaskan perkara yang mujmal. Maka
hukumnya mengikuti kemujmalannya baik wajib atau sunnah. Contoh: Amalan-amalan
dalam haji, umroh, shalat lima
waktu dan shalat gerhana matahari.
SUNNAH TAQRIRIYYAH :
Contoh Taqrir (Ketetapan): Nabi diam (tidak
komentar/mengingkari) atas perkataan atau amalan yang dikerjakan dihadapan
Beliau atau dimasa Beliau sedangkan Beliau mengetahuinya.
Para Ulama’ berkata : Iqrarnya Nabi atas perkataan seseorang
adalah seperti sabda Beliau. Iqror Nabi atas perbuatan seseorang adalah seperti
perbuatan Beliau. Perbuatan apapun yang dikerjakan di selain majelis Beliau dan
Beliau mengetahuinya, hukumnya adalah sama seperti perbuatan yang dilakukan di
majelis Beliau. Perkataan apapun yang dikatakan di selain majelis Beliau dan
Beliau mengetahuinya, hukumnya adalah sama seperti perkataan yang dikatakan di
majelis Beliau. Karena Nabi صلى الله عليه وسلم adalah Ma’shum (terjaga)
dari menetapkan kemungkaran atas seseorang. Karena menetapkan kemungkaran juga
termasuk kemungkaran.
CONTOH
TAQRIRIYYAH :
-
Harta benda yang dihasilkan oleh orang-orang musyrik sebelum
(datang) islam, (diperoleh) dengan usaha riba atau yang lain, Nabi صلى الله عليه وسلم tidak menyuruh mereka
untuk mengembalikan. Tetapi beliau hanya menyuruh bertaubat atas apa yang telah
dikerjakan dahulu.
-
Nabi صلى الله عليه وسلم membiarkan para
wanita keluar (dari rumah), berjalan di jalan-jalan, datang ke masjid, dan mendengar
khutbah (pengajian) yang biasanya orang-orang dikumpulkan untuk menghadirinya.
-
Suami meminta istri untuk bekerja menggiling tepung,
memasak, membikin adonan, memberi makan kuda (hewan), mengurusi pekerjaan rumah,
dan lain sebagainya. Dan Nabi sama se-kali
tidak mengatakan kepada mereka (suami): “Tidak halal bagi kalian yang demikian
itu, ke-cuali bila mereka yang menawarkan diri atau
kalian yang meminta ridhonya, sehingga mereka rela tanpa upah.”
Jual belinya orang buta untuk mereka sendiri,
tanpa adanya larangan atas hal tersebut. Karena Nabi mengetahui bahwasanya
kebutuhan orang yang buta dalam masalah jual beli adalah sama dengan kebutuhan
orang yang bisa melihat.

0 komentar:
Posting Komentar