Home » » IJ'TIHAD, ITTIBA' & TAQLID ( الإجتهاد و الإتّباع و التقليد)

IJ'TIHAD, ITTIBA' & TAQLID ( الإجتهاد و الإتّباع و التقليد)

Posted by CB Blogger

IJ'TIHAD :
Ij'tihad adalah mengerahkan seluruh kemampuan untuk mendapatkan hukum syar’i dengan cara istinbath dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Muj'tahid adalah seorang faqih yang mengerahkan kemampuannya untuk mendapatkan hukum-hukum syar’i dengan cara istinbath dari keduanya.
SYARAT- SYARAT IJ'TIHAD :
Syarat-syarat Ij'tihad ada 3 (tiga), yaitu:

1. Mengetahui nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah. Jika tidak mengetahui salah satunya, maka tidak bisa dianggap muj'tahid dan tidak bisa berij'tihad. Akan tetapi tidak harus mengetahui semua al-Qur’an dan al-Hadits, cukup mengetahui ayat atau hadits yang berkaitan tentang hokum tersebut.
2. Mengetahui Bahasa Arab sekira ia mampu menafsiri/menjelaskan kalimat-kalimat yang ghorib[1] atau yang lain dari al-Qur’an. Karena makna-makna, keistimewaan susunan dan kelembutan bahasa yang istimewa yang terkandung di dalamnya hanyalah mampu diketahui oleh orang yang benar-benar ahli dalam bidang ilmu nahwu, shorof, ma’ani dan bayan. Sehingga dengan keahlian fan-fan tersebut, ia akan mampu menganalisa suatu dalil dengan benar, dan ia mampu mengeluar-kan masalah hukum dengan kuat.
3. Mengetahui Ilmu Ushul Fiqih. Karena ilmu ini adalah tiang tengah dan dasar/pondasi ij'tihad, yang dengannya bagian bangunan (ij'tihad) dapat berdiri.
PEMBAGIAN IJTIHAD :
Seorang yang alim terkadang mampu mendapatkan dalil untuk pijakan ij'tihad pada sebagian masalah, akan tetapi terkadang juga tidak mendapatkannya.
Al-Muhaqqiq Ibnu Daqiq al-Íd mengatakan: "Menurut pendapat yang dipilih bahwasanya ij'tihad itu terbagi-bagi. Karena terkadang bab-bab dalam masalah fiqih mampu diketahui maksudnya. Sehingga betul-betul diketahui tempat pengambilan hukum-hukumnya. Apabila sudah diketahui, maka memungkinkan untuk ij'tihad.
Banyak dari kalangan Muj'tahid ketika ditanya dia tidak menjawab sama sekali. Ada juga yang ditanya ia hanya menjawab sebagian. Padahal Mereka adalah Para Muj'tahid tanpa ada khilaf. Sebagai contoh : Telah diriwayatkan bahwasanya Imam Malik pernah ditanya mengenai 40 masalah, akan tetapi beliau hanya menjawab 4 masalah saja. Sedang yang lain beliau mengatakan “Aku tidak tahu.”
APA YANG SEBAIKNYA DIKERJAKAN MUJTAHID?
Pertama, ia hendaknya memperhatikan nash-nash al-Qur’an & al-Hadits dan apa saja yang bisa dipahami dari manthuq dan mafhumnya. Apabila tidak mendapatkan, maka mesti memperhatikan perbuatan-perbuatan Nabi صلى الله عليه وسلم, kemudian ketetapan-ketetapannya pada sebagian umatnya, kemudian memperhatikan qiyas. Apabila ia kesulitan untuk mendapatkannya, maka ia berpegang pada prinsip " البراءة الأصلية ". Jika terjadi pertentangan di antara dua dalil, hendaknya ia mengambil jalan "Mengumpulkan" terlebih dahulu dengan cara yang bisa diterima. Dan apabila kesulitan, baru ia boleh mentarjih.
APAKAH SEMUA IJ'TIHAD ITU BENAR?
Para ulama’ mengatakan bahwa tidak semua Muj'tahid itu benar. Yang benar di antara mereka hanya satu. Mereka berpijak pada Hadits Shahih, Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:
الحاكم إذا اجْتهدَ فأَصابَ فله أجران, وإِنْ اجْتهدَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ وَاحِدٌ
Artinya : "Seorang hakim apabila ij'tihad dan (ij'tihadnya) itu benar maka dia mendapatkan dua pahala. Dan apabila ia keliru, maka ia hanya mendapat satu pahala saja."
Hadits ini menunjukkan bahwa  yang benar hanya satu. Jika sebagian Muj'tahid sesuai dengan kebenaran, maka ia disebut Musib (Orang yang benar Ij'tihadnya), dan berhak mendapat dua pahala. Jika sebagian Muj'tahid tidak sesuai dengan kebenaran, maka ia disebut Mukhthi’ (orang yang keliru ij'tihadnya, dan berhak mendapat satu pahala). Hak mendapat pahala bukan karena harus benar. Dan kesalahan juga tidak meng-haruskan ia mendapat pahala, sebab pahala itu didapatkan dari usaha ij'tihadnya, bukan karena kesalahannya.
ITTIBA’ :
Ittiba’ adalah menerima pendapat orang lain sedang kamu mengetahui dalilnya. Hal ini diperintahkan. Allah berfirman:
(#þqè=t«ó¡sù Ÿ@÷dr& ̍ø.Ïe%!$# bÎ) óOçGYä. Ÿw tbqçHs>÷ès?
Artinya : "Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui." [QS. an-Nahl : 16/43]
Maksudnya bertanyalah kalian kepada pengetahuan mereka tentang al-Qur’an dan as-Sunnah. Bukan hanya sekedar bertanya mengenai pendapat mereka. Karena yang diperintahkan adalah bertanya kepada ahli dzikir. Sedangkan yang dimaksud ahli dzikir adalah ahli Qur’an dan ahli Hadits Rasulullah صلى الله عليه وسلم bukan lain. Karena syari'at suci ini hanya dari Allah Yang Maha Mengetahui Lagi Maha Bijaksana, yaitu al-Qur’an al-Karim, dan dari Rasulullah صلى الله عليه وسلم. Maka yang dimaksud ahli dzikir adalah ahli al-Qur’an dan as-Sunnah.
TAQLID :
Taqlid secara bahasa dari kata "Qilaadah" yang berarti mengalungkan tali kepada orang lain. Secara istilah adalah menerima pendapat orang lain sedangkan kamu tidak mengetahui dalilnya. Taqlid hukumnya tercela. Allah berfirman mengenai celaan kepada orang-orang yang bertaqlid:
#sŒÎ)ur Ÿ@ŠÏ% ãNßgs9 (#qãèÎ7®?$# !$tB tAtRr& ª!$# (#qä9$s% ö@t/ ßìÎ6®KtR !$tB $uZøxÿø9r& Ïmøn=tã !$tRuä!$t/#uä 3 öqs9urr& šc%x. öNèdät!$t/#uä Ÿw šcqè=É)÷ètƒ $\«øx© Ÿwur tbrßtGôgtƒ
Artinya : Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi Kami hanya mengikuti apa yang telah Kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?" [QS. al-Baqarah : 2/170]
(#ÿräsƒªB$# öNèdu$t6ômr& öNßguZ»t6÷dâur $\/$t/ör& `ÏiB Âcrߊ «!$#
Artinya : "Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah." [QS. at-Taubah : 9/31]
Rasulullah  صلى الله عليه وسلم  menjelaskan tentang ayat ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim ketika Nabi ditanya tentang ayat ini. “Apakah mereka menyembah pendeta-pendeta mereka?” Maka Nabi bersabda : “Tidak! Akan  tetapi pendeta-pendeta itu menghalalkan perkara yang haram dan merekapun ikut mengaharamkan dan mengharamkan perkara yang halal kepada mereka, merekapun ikut mengharamkan. Sebab itulah mereka (pendeta-pendeta) itu dianggap sebagai Tuhan-Tuhan.


PENDAPAT PARA IMAM MADZHAB DALAM MASALAH TAQLID
Imam Abu Hanifah berkata, “Jika pendapatkanku berlawanan dengan kitab Allah dan berita dari Rasulullah  صلى الله عليه وسلم , maka tinggalkanlah pendapatku!”
Imam Malik berkata, “Kami semua menolak dan ditolak, kecuali penghuni kubur ini (Nabi  صلى الله عليه وسلم ).”
Imam Syafi’I berkata, “Perumpamaan orang yang mencari ilmu tanpa ada hujjah adalah seperti pencari kayu bakar yang membawa seikat kayu bakar di waktu malam yang di dalamnya ada ular yang akan menyakiti (mematuk)-nya sedang dia tidak mengetahui(nya).
Imam Ahmad berkata, “Janganlah kalian mengikuti aku, Malik, Tsauri dan Awza’I, tetapi ambillah darimana mereka mengambil.”
TA’ADUL DAN TARJIH ( التعادل والترجيح )
DEVINISI :
Ta’adul secara bahasa adalah sepadan, sedangkan secara istilah adalah menyamakan dua dalil.
Tarjih secara bahasa adalah menjadikan perkara menjadi lebih kuat, sedangkan secara istilah adalah menguatkan salah satu dalil (yang kuat) dari yang lain.

AMAL (PRAKTEK) DALAM TARJIH :
Sudah menjadi ketetapan bahwa yang menjadi standar (patokan) dalam hukum syari’at adalah dalil-dalil dzonn. Dan terkadang secara dzahir dilihat dari jelas dan tidaknya, dalil-dalil tersebut saling bertentangan satu sama lain. Maka (dari sini) harus ada tarjih antara keduanya kemudian mengamalkan dalil yang lebih kuat.
Dalil yang menunjukkan harus meng-amalkan yang lebih kuat adalah jika bertentangan dua dalil mana yang akan dilaksanakan, apakah diamalkan semua atau yang lebih kuat atau yang dikuatkan? Telah dijelaskan oleh sabda Nabi صلى الله عليه وسلم kepada Sayyidina Abbas (yang pada waktu ia dalam pasukan orang kafir). Ketika perang badar Sayyidina Abbas berkata, “Aku keluar dalam perang badar ini karena terpaksa.”
Maka Nabi صلى الله عليه وسلم  bersabda, “Kamu nampaknya memerangi kami. (Padahal tidak).” [Hadits Shahih]
SYARAT-SYARAT TARJIH :
1.      Sama kuatnya. Maka antara dalil mutawatir dan dalil ahad tidak bisa dianggap saling bertentangan. Akan tetapi Mesti men-dahulukan dalil yang mutawatir.
2.      Keduanya bersesuaian di dalam hukum dan hubungan dalam segi waktu, tempat, syarat, ’illat, dan lain sebagainya. Maka tidak ada pertentangan antara larangan jual beli pada waktu adzan jum’at dan boleh jual beli di selain waktu adzan karena waktunya beda. Begitu juga ayat peperangan dan ayat pema’afan (pengampunan).
-       Dalam ayat peperangan :
(#qè=çGø%$$sù tûüÏ.ÎŽô³ßJø9$# ß]øym óOèdqßJ?y`ur
Artinya : “Maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka.” [QS. at-Taubah : 9/5]
-       Dalam ayat pema’afan (pengampunan) :
(#qàÿôã$$sù (#qßsxÿô¹$#ur 4Ó®Lym uÎAù'tƒ ª!$# ÿ¾Ín͐öDr'Î/ 3
Artinya : “Maka ma'afkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya.” [QS. al-Baqarah : 2/109]
Karena tempatnya berbeda. Seperti qa’idah :
فإن لكل مقام مقالا ولكل مقال مقاما
“Setiap tempat ada kata-kata (yang tepat) dan setiap kata-kata ada tempatnya (yang tepat)”
MACAM-MACAM TARJIH :
Tarjih terdiri dari beberapa macam di antaranya :
Tarjih dilihat dari segi Isnad, Tarjih dilihat dari segi Matan, Tarjih dilihat dari segi Madlul, Tarjih dilihat dari perkara lain.

- Tarjih dilihat dari segi Isnad :
1.      Jumlah Rawi. Jumlah Rawi yang lebih banyak mesti didahulukan dari jumlah Rawi yang sedikit. Sebab lebih kuat dzonn-nya.
2.      Mendahulukan Rawi yang lebih faqih dari yang tidak. Karena yang faqih lebih paham pada lafadz-lafadz yang dikehendaki.
3.      Mendahulukan Rawi yang lebih Hafal dari yang lainnya.
4.      Mendahulukan Rawi (yang berperan) sebagai pelaku kejadian. Karena ia lebih mengetahui kisahnya.
5.      Mendahulukan Rawi yang menyebutkan sebab-sebab turunnya hadits.
6.      Mendahulukan hadits-hadits yang disebutkan dalam shahihain (Riwayat Bukhary-Muslim) dari hadits-hadits yang tidak disebutkan shahihain. 
- Tarjih dilihat dari segi Matan :
1.      Mendahulukan hadits yang tidak memerlukan ma’na lain.
2.      Mendahulukan hadits yang disertai ancaman.
3.      Mendahulukan Mafhum Muwafaqah dari Mafhum Mukhalafah.
4.      Mendahulukan hadits yang mengandung perintah dari hadits yang mengandung ibahah.
5.      Mendahulukan hadits yang menunjukkan ‘illat hukum dari yang tidak. Karena hadits yang menunjukkan illat itu lebih jelas dari yang tidak menyebutkan.
- Tarjih dilihat dari segi Madlul :
1.      Mendahulukan hadits yang lebih dekat kepada kehati-hatian. Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:
فمن اتقى الشبهات فقد استبرأ لدينه وعرضه (متفق عليه)
Artinya : “Barang siapa yang taqwa (menjaga diri) dari perkara-perkara syubhat, sungguh ia telah membersihkan agama dan kehormatannya.” [Muttafaq ‘Alaih]
2.      Mendahulukan hadits yang mutsbat dari yang manfi. Karena akan lebih yaqin.
3.      Mendahulukan hadits yang menggugurkan had dari yang tidak. Karena Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:
ادرءوا الحدود بالشبهات (أخرجه ابن عديّ)
Artinya : “Tolaklah hukuman!! Sebab ada beberapa syubhat.” [HR. Ibnu ‘Ady]
- Tarjih dilihat dari segi perkara lain:
1.      Mendahulukan hadits yang dikuatkan oleh hadits lain dari yang tidak dikuatkan (oleh hadits lain).
Mendahulukan hadits yang berupa perkataan (qauliyyah) dari hadits yang berupa perbuatan (fi’liyyah). Oleh karena itu para ulama’ mengatakan, “Yang ditunjukkan oleh perkataan itu lebih kuat daripada yang ditunjukkan oleh perbuatan.”


[1] Ghorib : Asing


0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.