IJ'TIHAD :
Ij'tihad
adalah mengerahkan seluruh kemampuan untuk mendapatkan hukum syar’i dengan cara
istinbath dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Muj'tahid adalah seorang
faqih yang mengerahkan kemampuannya untuk mendapatkan hukum-hukum syar’i dengan
cara istinbath dari keduanya.
SYARAT-
SYARAT IJ'TIHAD :
Syarat-syarat
Ij'tihad ada 3 (tiga), yaitu:
1. Mengetahui nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah. Jika
tidak mengetahui salah satunya, maka tidak bisa dianggap muj'tahid dan tidak
bisa berij'tihad. Akan tetapi tidak harus mengetahui semua al-Qur’an dan al-Hadits,
cukup mengetahui ayat atau hadits yang berkaitan
tentang hokum tersebut.
2. Mengetahui Bahasa Arab sekira ia mampu
menafsiri/menjelaskan kalimat-kalimat yang ghorib[1]
atau yang lain dari al-Qur’an. Karena makna-makna, keistimewaan susunan dan
kelembutan bahasa yang istimewa yang terkandung di dalamnya hanyalah mampu diketahui
oleh orang yang benar-benar ahli dalam bidang ilmu nahwu, shorof, ma’ani dan
bayan. Sehingga dengan keahlian fan-fan tersebut, ia akan mampu menganalisa
suatu dalil dengan benar, dan ia mampu mengeluar-kan
masalah hukum dengan kuat.
3. Mengetahui Ilmu Ushul Fiqih. Karena ilmu ini adalah tiang tengah dan
dasar/pondasi ij'tihad, yang dengannya bagian bangunan (ij'tihad) dapat
berdiri.
PEMBAGIAN
IJTIHAD :
Seorang yang alim terkadang mampu mendapatkan dalil untuk
pijakan ij'tihad pada sebagian masalah, akan tetapi terkadang juga tidak
mendapatkannya.
Al-Muhaqqiq Ibnu Daqiq al-Íd mengatakan: "Menurut
pendapat yang dipilih bahwasanya ij'tihad itu terbagi-bagi. Karena terkadang bab-bab
dalam masalah fiqih mampu diketahui maksudnya. Sehingga betul-betul diketahui tempat pengambilan hukum-hukumnya. Apabila
sudah diketahui, maka memungkinkan untuk ij'tihad.
Banyak dari kalangan Muj'tahid ketika ditanya dia tidak
menjawab sama sekali. Ada
juga yang ditanya ia hanya menjawab sebagian. Padahal Mereka adalah Para Muj'tahid tanpa ada khilaf. Sebagai contoh : Telah
diriwayatkan bahwasanya Imam Malik pernah ditanya mengenai 40 masalah, akan tetapi
beliau hanya menjawab 4 masalah saja. Sedang yang lain beliau mengatakan “Aku
tidak tahu.”
APA YANG
SEBAIKNYA DIKERJAKAN MUJTAHID?
Pertama,
ia hendaknya memperhatikan nash-nash al-Qur’an & al-Hadits dan apa saja
yang bisa dipahami dari manthuq dan mafhumnya. Apabila tidak
mendapatkan, maka mesti memperhatikan perbuatan-perbuatan Nabi صلى الله عليه وسلم, kemudian
ketetapan-ketetapannya pada sebagian umatnya, kemudian memperhatikan qiyas. Apabila
ia kesulitan untuk mendapatkannya, maka ia berpegang pada prinsip " البراءة الأصلية ". Jika terjadi pertentangan di
antara dua dalil, hendaknya ia mengambil jalan "Mengumpulkan" terlebih
dahulu dengan cara
yang bisa diterima. Dan apabila kesulitan,
baru ia boleh mentarjih.
APAKAH
SEMUA IJ'TIHAD ITU BENAR?
الحاكم إذا اجْتهدَ فأَصابَ فله
أجران, وإِنْ اجْتهدَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ وَاحِدٌ
Artinya :
"Seorang hakim apabila ij'tihad dan (ij'tihadnya) itu benar maka dia
mendapatkan dua pahala. Dan apabila ia keliru, maka ia hanya mendapat satu
pahala saja."
Hadits ini menunjukkan bahwa
yang benar hanya satu. Jika sebagian Muj'tahid sesuai dengan kebenaran, maka ia disebut Musib (Orang yang benar
Ij'tihadnya), dan berhak mendapat dua pahala. Jika sebagian Muj'tahid tidak sesuai dengan kebenaran, maka ia disebut Mukhthi’ (orang yang keliru
ij'tihadnya, dan berhak mendapat satu pahala). Hak mendapat pahala bukan karena harus benar. Dan
kesalahan juga tidak meng-haruskan ia mendapat pahala, sebab pahala itu didapatkan
dari usaha ij'tihadnya, bukan karena kesalahannya.
ITTIBA’
:
Ittiba’
adalah menerima pendapat orang lain sedang kamu mengetahui dalilnya. Hal ini
diperintahkan. Allah berfirman:
(#þqè=t«ó¡sù @÷dr& Ìø.Ïe%!$# bÎ) óOçGYä. w tbqçHs>÷ès?
Artinya : "Maka
bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak
mengetahui." [QS. an-Nahl : 16/43]
Maksudnya bertanyalah
kalian kepada pengetahuan mereka tentang al-Qur’an dan as-Sunnah. Bukan hanya sekedar bertanya mengenai pendapat mereka. Karena yang diperintahkan adalah bertanya kepada ahli dzikir.
Sedangkan yang dimaksud ahli dzikir adalah ahli Qur’an dan ahli Hadits
Rasulullah صلى الله عليه
وسلم bukan lain.
Karena syari'at suci ini hanya dari Allah Yang Maha Mengetahui Lagi Maha
Bijaksana, yaitu al-Qur’an al-Karim, dan dari Rasulullah صلى الله عليه وسلم. Maka yang
dimaksud ahli dzikir adalah ahli al-Qur’an dan as-Sunnah.
TAQLID
:
Taqlid secara
bahasa dari kata "Qilaadah" yang berarti mengalungkan tali
kepada orang lain. Secara istilah adalah menerima pendapat orang lain sedangkan
kamu tidak mengetahui dalilnya. Taqlid hukumnya tercela.
Allah berfirman mengenai celaan kepada orang-orang yang bertaqlid:
#sÎ)ur @Ï% ãNßgs9 (#qãèÎ7®?$# !$tB tAtRr& ª!$# (#qä9$s% ö@t/ ßìÎ6®KtR !$tB $uZøxÿø9r& Ïmøn=tã !$tRuä!$t/#uä 3 öqs9urr& c%x. öNèdät!$t/#uä w cqè=É)÷èt $\«øx© wur tbrßtGôgt
Artinya : Dan
apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan
Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi Kami hanya mengikuti apa
yang telah Kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah
mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui
suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?" [QS. al-Baqarah : 2/170]
(#ÿräsªB$# öNèdu$t6ômr& öNßguZ»t6÷dâur $\/$t/ör& `ÏiB Âcrß «!$#
Artinya : "Mereka
menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain
Allah." [QS. at-Taubah : 9/31]
Rasulullah صلى الله عليه وسلم menjelaskan tentang
ayat ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim ketika Nabi ditanya tentang
ayat ini. “Apakah mereka menyembah pendeta-pendeta mereka?” Maka Nabi bersabda :
“Tidak! Akan tetapi pendeta-pendeta itu
menghalalkan perkara yang haram dan merekapun ikut mengaharamkan dan mengharamkan perkara yang halal kepada mereka, merekapun ikut mengharamkan. Sebab itulah
mereka (pendeta-pendeta) itu dianggap sebagai Tuhan-Tuhan.
PENDAPAT
PARA IMAM MADZHAB DALAM MASALAH TAQLID
Imam Abu
Hanifah berkata, “Jika pendapatkanku berlawanan dengan kitab Allah dan berita
dari Rasulullah صلى الله عليه وسلم , maka tinggalkanlah pendapatku!”
Imam Malik
berkata, “Kami semua menolak dan ditolak, kecuali penghuni kubur ini (Nabi صلى الله عليه وسلم ).”
Imam Syafi’I
berkata, “Perumpamaan orang yang mencari ilmu tanpa ada hujjah adalah
seperti pencari kayu bakar yang membawa seikat kayu bakar di waktu malam yang
di dalamnya ada ular yang akan menyakiti (mematuk)-nya sedang dia tidak mengetahui(nya).
Imam Ahmad
berkata, “Janganlah kalian mengikuti aku,
Malik, Tsauri dan Awza’I, tetapi ambillah darimana mereka mengambil.”
TA’ADUL
DAN TARJIH ( التعادل
والترجيح )
DEVINISI
:
Ta’adul secara bahasa adalah sepadan, sedangkan secara istilah
adalah menyamakan dua dalil.
Tarjih secara bahasa adalah menjadikan perkara menjadi lebih kuat,
sedangkan secara istilah adalah menguatkan salah satu dalil (yang kuat) dari
yang lain.
AMAL
(PRAKTEK) DALAM TARJIH :
Sudah menjadi ketetapan bahwa yang menjadi standar (patokan)
dalam hukum syari’at adalah dalil-dalil dzonn. Dan terkadang secara dzahir dilihat
dari jelas dan tidaknya, dalil-dalil tersebut saling bertentangan satu sama
lain. Maka (dari sini) harus ada tarjih antara keduanya kemudian mengamalkan
dalil yang lebih kuat.
Dalil yang menunjukkan harus meng-amalkan
yang lebih kuat adalah jika bertentangan dua dalil mana yang akan dilaksanakan,
apakah diamalkan semua atau yang lebih kuat atau yang dikuatkan? Telah
dijelaskan oleh sabda Nabi صلى
الله عليه وسلم kepada Sayyidina
Abbas (yang pada waktu ia dalam pasukan orang kafir). Ketika perang badar Sayyidina
Abbas berkata, “Aku keluar dalam perang badar ini karena terpaksa.”
Maka Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda, “Kamu
nampaknya memerangi kami. (Padahal tidak).” [Hadits Shahih]
SYARAT-SYARAT
TARJIH :
1.
Sama kuatnya.
Maka antara dalil mutawatir dan dalil ahad tidak bisa dianggap saling
bertentangan. Akan tetapi Mesti men-dahulukan dalil yang mutawatir.
2.
Keduanya bersesuaian di dalam hukum dan hubungan dalam segi
waktu, tempat, syarat, ’illat, dan lain sebagainya. Maka tidak ada pertentangan
antara larangan jual beli pada waktu adzan jum’at dan boleh jual beli di selain
waktu adzan karena waktunya beda. Begitu juga ayat peperangan dan ayat pema’afan
(pengampunan).
-
Dalam ayat peperangan :
(#qè=çGø%$$sù tûüÏ.Îô³ßJø9$# ß]øym óOèdqßJ?y`ur
Artinya : “Maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana
saja kamu jumpai mereka.” [QS.
at-Taubah : 9/5]
-
Dalam ayat pema’afan (pengampunan) :
(#qàÿôã$$sù (#qßsxÿô¹$#ur 4Ó®Lym uÎAù't ª!$# ÿ¾ÍnÍöDr'Î/ 3
Artinya
: “Maka ma'afkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan
perintah-Nya.” [QS. al-Baqarah : 2/109]
Karena
tempatnya berbeda. Seperti qa’idah :
فإن لكل مقام مقالا ولكل مقال مقاما
“Setiap tempat ada kata-kata (yang
tepat) dan setiap kata-kata ada tempatnya (yang tepat)”
MACAM-MACAM
TARJIH :
Tarjih terdiri
dari beberapa macam di antaranya :
Tarjih dilihat
dari segi Isnad, Tarjih dilihat dari segi Matan, Tarjih dilihat dari segi
Madlul, Tarjih dilihat dari perkara lain.
- Tarjih dilihat dari segi Isnad :
1.
Jumlah Rawi. Jumlah Rawi yang lebih banyak mesti didahulukan
dari jumlah Rawi yang sedikit. Sebab lebih kuat dzonn-nya.
2.
Mendahulukan Rawi yang lebih faqih dari yang tidak. Karena
yang faqih lebih paham pada lafadz-lafadz yang dikehendaki.
3.
Mendahulukan Rawi yang lebih Hafal dari yang lainnya.
4.
Mendahulukan Rawi (yang berperan) sebagai pelaku kejadian.
Karena ia lebih mengetahui kisahnya.
5.
Mendahulukan Rawi yang menyebutkan sebab-sebab turunnya
hadits.
6.
Mendahulukan hadits-hadits yang disebutkan dalam shahihain
(Riwayat Bukhary-Muslim) dari hadits-hadits yang tidak disebutkan
shahihain.
- Tarjih dilihat dari segi Matan :
1.
Mendahulukan hadits yang tidak memerlukan ma’na lain.
2.
Mendahulukan hadits yang disertai ancaman.
3.
Mendahulukan Mafhum Muwafaqah dari Mafhum
Mukhalafah.
4.
Mendahulukan hadits yang mengandung perintah dari hadits
yang mengandung ibahah.
5.
Mendahulukan hadits yang menunjukkan ‘illat hukum dari yang
tidak. Karena hadits yang menunjukkan illat itu lebih jelas dari yang tidak
menyebutkan.
- Tarjih dilihat dari segi Madlul :
1.
Mendahulukan hadits yang lebih dekat kepada kehati-hatian.
Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:
فمن اتقى الشبهات فقد استبرأ لدينه وعرضه (متفق عليه)
Artinya : “Barang
siapa yang taqwa (menjaga diri) dari perkara-perkara syubhat, sungguh ia telah
membersihkan agama dan kehormatannya.” [Muttafaq ‘Alaih]
2.
Mendahulukan hadits yang mutsbat dari yang manfi.
Karena akan lebih yaqin.
3.
Mendahulukan hadits yang menggugurkan had dari yang
tidak. Karena Nabi صلى
الله عليه وسلم bersabda:
ادرءوا الحدود بالشبهات (أخرجه ابن عديّ)
Artinya : “Tolaklah
hukuman!! Sebab ada beberapa syubhat.” [HR. Ibnu ‘Ady]
- Tarjih dilihat dari segi perkara lain:
1.
Mendahulukan hadits yang dikuatkan oleh hadits lain dari
yang tidak dikuatkan (oleh hadits lain).
Mendahulukan hadits yang berupa perkataan
(qauliyyah) dari hadits yang berupa perbuatan (fi’liyyah). Oleh karena itu para
ulama’ mengatakan, “Yang ditunjukkan oleh perkataan itu lebih kuat daripada
yang ditunjukkan oleh perbuatan.”

0 komentar:
Posting Komentar