Home » » Usul Fiqih

Usul Fiqih

Posted by CB Blogger

USHUL FIQIH
Dalam Ushul Fiqih ada beberapa pembahasan yang berkaitan dengannya, di antaranya :
1.     PERINTAH
Devinisi :
Perintah adalah permintaan dari yang lebih tinggi derajatnya kepada yang lebih rendah. Dalam hal ini ada beberapa qa'idah di antaranya :
Qaídah 1 :
الأصل في الأمر للوجوب
"Menurut Aslinya Amar Adalah Untuk Mewajibkan."
Ini adalah pendapat mayoritas Ulama’ dengan dasar dalil aqly maupun naqly.
Menurut dalil aqly adalah orang-orang ahli bahasa mengatakan bahwa seorang budak jika tidak mentaati perintah tuannya maka ia akan dicela dan disebut durhaka. Penyebutan durhaka dan tercela hanyalah diperuntukkan bagi orang yang tidak mengerjakan kewajibannya.
Menurut dalil naqly adalah firman Allah SWT :
فَلْيَحْذَرِ الَّذِيْنَ يُخَالِفُوْنَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيْبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيْبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ
"Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul, takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa azab yang pedih." [QS. an-Nur : 24/63]
Allah Azza Wa Jalla menjadikan fitnah di dunia dan adzab yang pedih di akherat sebab meninggalkan perintah-Nya
Penggunaan sighot perintah digunakan dalam beberapa hal, di antaranya adalah untuk :
1.  Do’a (Permohonan).
Sebagaimana Firman Allah Swt :
ربنا آتنا في الدنيا حسنة وفي الآخرة حسنة
“Ya Allah berikanlah kepada kami kebaikan di dunia (Ilmu & Ibadah) dan kebaikan di akherat (Surga)." (QS al Baqoroh 2/201)
2.  Tahdid (Mengancam).
Sebagaimana Firman Allah Swt :
إعملوا ما شئتم
“Berbuatlah sekehendak kalian!" (QS Fusilat : 41/40)
3.  Ikrom (Memulyakan).
Sebagaimana Firman Allah Swt :
$ydqè=äz÷Š$# AO»n=|¡Î0 tûüÏZÏB#uä
"Masuklah kalian ke dalam surga dengan selamat dan aman." (QS al-Hijr : 15/46)
4.  Ta’ziz (Melemahkan).
Sebagaimana Firman Allah Swt :
(#qè?ù'sù ;ouqÝ¡Î/ `ÏiB ¾Ï&Î#÷VÏiB
"Buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Quran itu." (QS al-Baqarah : 2/23)
5.  Tafwidh (Menyerahkan).
Sebagaimana Firman Allah Swt :
ÇÙø%$$sù !$tB |MRr& CÚ$s% (
"Maka putuskanlah apa yang hendak kamu putuskan." (QS Thahaa : 20/72)

6.  Talhif (Menyesali).
Sebagaimana Firman Allah Swt :
 (#qè?qãB öNä3ÏàøŠtóÎ/ 3
"Matilah kamu karena kemarahanmu itu". (QS Ali Ímran : 3/119)
Qaídah 2 :
الأصل في الأمر لا يقتضي التكرار
"Menurut aslinya amar adalah tidak untuk mengulang-ulang (atas perkara yang diperintahkan)."
Karena shighot amar adalah tuntutan untuk mengerjakan. Ketika perintah tersebut hanya dikerjakan sekali saja, maka sudah cukup (dianggap sebagai orang yang taat).
Allah Swt berfirman :
(#qJÏ?r&ur ¢kptø:$# not÷Kãèø9$#ur ¬! 4
"Dan sempurnakanlah ibadah haji dan 'umrah karena Allah." (QS al-Baqarah : 2/196)
Qaídah 3 :
الأصل في الأمر لا يقتضي الفور
"Menurut aslinya amar adalah tidak mengandung kesegeraan."
Berarti boleh mengundurkan perintah selagi tidak melewati batas waktu yang telah ditetapkan. Karena tujuan perintah adalah melaksanakan pekerjaan yang diperintahkan tanpa menentukan waktu yang awal atau waktu yang kedua.
Qaídah 4 :
الأمرُ بالشيء أمرٌ بوسائِله
"Perintah mengerjakan sesuatu berarti  perintah juga untuk melaksanakan wasilah (yang menjadi terlaksananya sesuatu itu)."
Karena jika seandainya wasilah tidak diperintahkan maka boleh meninggalkan hal yang wajib yang hanya terlaksana dengan wasilah tersebut. Sedangkan meninggalkan hal yang wajib itu dilarang. Dengan demikian meninggalkan hal yang menjadi terlaksananya sesuatu yang wajib juga dilarang.
Wasilah adakalanya :
a.        Syar’i. Seperti thaharoh untuk sholat.
b.        Úrfy. Seperti memasang tangga untuk naik.
c.        Áqly. Seperti tidak membelakangi, jika ingin menghadap.
Qaídah 5 :
الأمرُ بالشيء نَهيْ عَنْ ضِدّهِ

"Perintah mengerjakan sesuatu berarti melarang mengerjakan sebaliknya."
Baik kebalikan perintah itu hanya satu atau banyak.
Seperti :
-          Perintah untuk iman, berarti melarang (dari berbuat) kufur.
-          Perintah untuk berdiri, berarti melarang (supaya tidak) duduk, tidur miring, sujud dll.
Karena perintah mengerjakan sesuatu menunjukkan bahwa yang diperintahkan adalah wajib. Dan yang menjadi keharusan mengerjakan hal yang wajib adalah meninggalkan semua kebalikannya.
Berarti perintah adalah petunjuk untuk meninggalkan semua kebalikan pekerjaan yang diperintahkan.
Qaídah 6 :
إذا فُعِل المَأمورُ به على وَجْهه يخرج المَأمورُ عَنْ عُمْدةِ الأمْرِ
"Apabila perkara yang diperintahkan sudah dikerjakan sesuai mestinya, maka yang diperintahkan sudah keluar dari perjanjian perintah."
Jika seseorang tidak menemukan air lalu dia tayamum dan kemudian mengerjakan sholat, maka ia telah keluar dari perjanjian perintah. Ia tidak perlu meng-qadha’ (sholat) ketika sudah ada air.
Allah berfirman :
öNn=sù (#rßÅgrB [ä!$tB (#qßJ£JutFsù #YÏè|¹ $Y7ÍhŠsÛ
"Kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci)." (QS an-Nisa' : 4/43)

Karena jika tidak terbebas dari perjanjian perintah, berarti wajib mengerjakan yang ke-dua, ke-tiga, begitu seterusnya. Padahal kita tahu bahwa perintah tidaklah menuntut untuk mengulang-ulang pekerjaan.
Qaídah 7 :
الْقَضَاءُ بِأَمْرٍ جدِيْدٍ

"Meng-qadha’ adalah karena (timbulnya) perintah baru."
Ada hadits Sayyidatina Áisyah radhiallaahu anha, Beliau berkata:
كُنّا نؤمر بقضاء الصوم ولا نُؤْمَرُ بقضاء الصلاةِ ( رواه البخاري )
"Kami diperintahkan untuk meng-qadha’ puasa dan tidak diperintahkan meng-qadha’ sholat."
(HR. Bukhari)
Apabila ada orang berkata : “Lakukan pekerjaan ini pada hari senin!" Maka pekerjaan itu tidak bisa dilaksanakan pada hari yang lain.
Qaídah 8 :
الأَمْرُ المتعلّق على الإسمِ يَقْتَضِي الإقْتِصَارَ على أوّلِه
"Perintah yang berkaitan dengan nama pekerjaan, maka tuntutan itu hanya pada awalnya saja (pekerjaan itu sudah sesuai namanya walaupun sedikit)."
Makna qaídah ini adalah apabila hukum berhubungan kepada ma’na yang umum dan mempunyai bagian yang saling menentukan, tinggi rendah. Maka hukum tersebut boleh dikerjakan sesuai namanya walaupun hanya dilaksanakan dengan yang paling rendah.
Misalkan: sabda Rasulullah shallallahu álaihi wa sallam:
ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا ( رواه البخاري )
“Ruku’lah kamu kemudian tuma’ninahlah dalam keadaan ruku’.” (HR. Bukhori)
 Perintah tuma’ninah sudah cukup dan sah dilaksanakan dengan derajat tuma’ninah paling rendah.
Contoh lain : Jika kita diwajibkan memerdekakan budak, maka sudah dianggap cukup apabila kita memerdekakan orang yang sudah dianggap budak. Walaupun budak paling rendah. Tidak wajib memerdekakan budak yang harganya seribu dinar. Akan tetapi tidak diragukan lagi bahwa hati-hati adalah melaksanakan perintah dengan nama paling akhir atau paling tinggi derajatnya (dari yang diperintahkan).
Qaídah 9 :
الأَمْرُ بَعْدَ النَّهْيِ يُفِيْدُ الإِباحة
"Perintah yang terjadi setelah larangan, memberi pengertian Ibahah (boleh)."
Sebab kebiasaan penggunaan yang segera dimengerti oleh hati adalah demikian (pengertian yang segera dimengerti oleh hati adalah tanda kebenaran).
Contoh :
#sŒÎ)ur ÷Läêù=n=ym (#rߊ$sÜô¹$$sù 4
"Dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu." (QS al-Maidah : 5/2)
Ayat ini turun setelah ada ayat :
ôM¯=Ïmé& Nä3s9 èpyJŠÍku5 ÉO»yè÷RF{$# žwÎ) $tB 4n=÷FムöNä3øn=tæ uŽöxî Ìj?ÏtèC ÏøŠ¢Á9$# öNçFRr&ur îPããm 3
"Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji." (QS. al-Maidah : 5/1)

Sabda Rasulullaah shallallaahu álaihi wa sallam :
كنتُ نهيتُكم عن لحوم الأضاحي فوق ثلاث من أجل الدافّة, فكلوا منها وادّخروا ( رواه الترمذي )
"Dulu Aku melarang kalian menyimpan daging kurban lebih dari 3 hari untuk menyuguh tamu sekarang makanlah dan simpanlah.” (HR. Imam Tirmidzi)

2.     LARANGAN
Devinisi :
Larangan secara bahasa adalah mencegah. Akal disebut Nuhyah ( نهية ) karena mencegah pemiliknya dari mengerjakan perkara yang bertentangan dengan kebenaran.
Sedangkan secara syar’i adalah tuntutan untuk meninggalkan dari orang yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah.
Dalam masalah larangan ada beberapa Qaídah di antaranya :
Qaídah 1 :
الأصل في النهي للتحريم
"Menurut asalnya larangan adalah untuk mengharamkan."
Karena akal memahami langsung bahwa larangan yang tidak bersamaan dengan qorinah apapun adalah untuk mengharamkan. Ini menunjukan kenyataan memang seperti itu.
Ulama’-Ulama’ salaf berdalil dengan shighot nahi yang tidak disertai dengan qorinah-qorinah tertentu, bahwa nahi tersebut adalah untuk mengharamkan.
Shighot nahi terkadang mempunyai beberapa makna, diantaranya adalah untuk :
a.  Do’a (Permohonan). Firman Allah :
$oY­/u Ÿw !$tRõÏ{#xsè? bÎ) !$uZŠÅ¡®S ÷rr& $tRù'sÜ÷zr& 4
(mereka berdoa): "Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau hukum Kami jika Kami lupa atau Kami tersalah." (QS. al-Baqarah : 2/286)
b.  Irsyad (Petunjuk). Firman Allah :
Ÿw (#qè=t«ó¡n@ ô`tã uä!$uô©r& bÎ) yö6è? öNä3s9 öNä.÷sÝ¡n@
"Janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu." (QS. al-Maidah : 5/101)
c.  Tai-iis (Menjadikan putus asa). Firman Allah :
Ÿw (#râÉtG÷ès? tPöquø9$# (
"Janganlah kamu mengemukakan uzur (membela diri) pada hari ini (hari kiamat)." (QS. at-Tahrim : 66/7)
d.  I'tinas (Menghibur). Firman Allah :
Ÿw ÷btøtrB žcÎ) ©!$# $oYyètB (
"Janganlah kamu berduka cita (bersedih), Sesungguhnya Allah beserta kita." (QS. At-Taubah : 9/40)
e.  Tahdid (Mengancam).
Misalnya berkata kepada pembantu : لا تُطِعْ أمْرِيْ   “Jangan engkau mentaati perintahku!”
Qaídah 2 :
النهي عن الشيء أمر بضدّه
"Melarang sesuatu berarti memerintahkan untuk mengerjakan kebalikannya."
Dalam kalimat lain disebutkan : "Melarang sesuatu berarti memerintahkan untuk mengerjakan salah satu dari beberapa kebalikannya".
Karena larangan adalah untuk mengharamkan. Sedangkan termasuk kelaziman tahrim adalah melakukan salah satu kebalikannya.
Jika ada orang berkata : “Jangan kamu duduk di rumah!" Berarti ia menyuruh duduk di salah satu tempat (selain rumah) bukan menyuruh duduk di semua tempat.
Qaídah 3 :
النهي المطلق يقتضي الدوام في جميع الأزمنة
"Larangan yang muthlaq berarti menunjukkan kekalnya larangan itu pada semua masa."
Karena larangan adalah yang menjadi patokan mafsadah, maka untuk menjauhinya mesti ditinggalkan selamanya.
Misalkan orang berkata kepada anaknya : “Jangan dekati macan itu!” Berarti maksudnya adalah selamanya untuk menjauhi macan.
Qaídah 4 :
النهي يدلّ على فساد المنهيِّ عنه في عباداتٍ
"Larangan menunjukkan rusaknya perbuatan yang dilarang dalam lingkup ibadah."
Hal ini jika larangannya ditujukan pada perbuatan (ibadah) itu sendiri. Misalkan : orang haid dilarang sholat dan puasa.
Atau ditujukan pada hal yang tidak dapat dipisahkan. Misalkan : larangan puasa pada hari raya idul fitri dan idul adha, karena hari itu adalah hari jamuan dari Allah untuk hamba-hambaNya. Sedangkan melaksanakan puasa berarti berpaling dari jamuan itu.
نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن صوم الفطر والنحر ( متفق عليه )
"Rasulullaah shallallahu álaihi wa sallam melarang puasa pada Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha."
Jika larangan itu ditujukan pada hal-hal selain ibadah, maka tidak menyebabkan rusaknya ibadah tersebut.
Rasulullaah shallallahu álaihi wa sallam melarang sholat di tempat peristirahatan Unta. Beliau bersabda :
ولا تصلّوا في أعطان الإبل ( رواه الترمذي )
“Janganlah kalian sholat di tempat peristirahatan Unta." (HR. Tirmidzy)
Sebagian Ulama’ berkata :
Hikmah dari larangan tersebut adalah apabila seseorang sholat di tempat itu, maka Unta-unta akan lari, sehingga ia akan membatalkan sholatnya (tidak khusyu').
Qaídah 5 :
النهي يدلّ على فساد المنهيِّ عنه في العقودِ
"Larangan menunjukkan rusaknya perbuatan yang dilarang dalam Muámalat."
Hal ini apabila larangan tersebut ditujukan pada akad itu sendiri. Bukan pada hal yang lain. Misalkan, larangan jual beli Malaqih (ternak yang masih dalam kandungan induknya). Larangan ini ditujukan pada barang yang dijual (mabi’). Sedangkan mabi’ adalah termasuk salah satu tiga rukun jual beli.
Termasuk tiga rukun jual beli adalah :
  1. Dua orang yang berakad (penjual dan pembeli)
  2. Ma’qud alaih (mabi’ dan musman)
  3. Sighot (akad)
"Rasulullaah shallallahu álaihi wa sallam melarang jual beli Malaqih." (HR. Ibnu Majah). Jika ditujukan pada perkara lain yang tidak lazim, maka akad muámalat tersebut tidak rusak.
Misalkan : Jual beli ketika adzan jum’at dikumandangkan.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
#sŒÎ) šÏŠqçR Ío4qn=¢Á=Ï9 `ÏB ÏQöqtƒ ÏpyèßJàfø9$# (#öqyèó$$sù 4n<Î) ̍ø.ÏŒ «!$# (#râsŒur yìøt7ø9$# 4
"Apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli." (QS. al-Jumu’ah : 62/9)
Karena (Jual beli di waktu tersebut) mengganggu untuk bersegera menuju jum’at. Gangguan itu bisa saja terjadi karena jual beli ataupun yang lain. Misalkan makan.
Bisa juga jual beli tidak menggaanggu misalkan jual beli di jalan yang berbarengan (dengan) menuju jum’atan 
Maksud rusak adalah :
Jika dalam ibadah maka yang dimaksud adalah belum mencukupi atau belum terbebas dari tanggungan (tidak sah).
Jika dalam muamalat maka yang dimaksud adalah aqad tersebut tidak memberi kesan sama sekali pada hak milik, pembebasan dan lain sebagainya secara syar’i.
Karena itu Para Ulama’ berkata : “Jika aqadnya batal maka tidak akan mempengaruhi apapun.”
3.     ÁAM (UMUM)
Ada beberapa pembahasan dalam masalah ‘amm, diantaranya :
A. Devinisi
Amm secara bahasa adalah satu perkara mencakup kepada beberapa bilangan. Seperti perkataan : "Kebaikan telah merata kepada kaum."
Secara istilah adalah Lafadz yang menghabiskan seluruh perkara yang sesuai untuk lafadz tersebut hanya dengan sekali sebut. Contoh : lafadz الرجال maknanya adalah memasukkan seluruh apa saja yang sesuai untuk lafadz  الرجال . Dan lafadz-lafadz nakiroh seperti lafadz رجل tidak termasuk lafadz Ámm.  Karena maknanya hanya untuk satu orang dari rijaluddunya dan tidak memasukkan semuanya.
B. Perbedaan Antara 'Amm Syumuly Dan ‘Amm Muthlaq Badaly
Amm Syumuly artinya adalah menyeluruh yang memasukkan kepada semua satuan-satuannya. Sedangkan ‘Amm Badaly artinya juga menyeluruh. Akan tetapi tidak memasukkan semua satuan-satuannya. Hanya kepada satuan yang mewakili dari seluruh satuan-satuannya. Dan tidak bisa lebih dari satu dalam sekali sebut. Sehingga jika ada orang mengatakan bahwa Lafadz Muthlaq adalah nama ‘Amm (umum) maka yang dimaksud adalah ‘Amm Badaly
C. Shighot Lafadz-Lafadz Umum
  1. كلٌّجَمِيْعكافَّة  – مَعْشَر
كلٌّ ( Setiap ), Contoh :
@ä. <§øÿtR èps)ͬ!#sŒ ÏNöqpRùQ$# 3
"Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati." (QS. Ali Ímran : 3/185)
                جَمِيْع ( Semua/Segala ), Contoh :
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : كُلُّ أُمّتى يَدِخلُونَ الْجَنّة إلاّ من أَبَى, قالوا : ومن يأبَى؟ قال : من أطاعني دخل الجنّة ومن عصاني فقد أَبَى ( رواه البخاري )
Mafhumnya : Rasulullah Saw bersabda : Semua umatku akan masuk surga kecuali yang enggan. (Para sahabat) bertanya : Siapa yang enggan (masuk surga)? Nabi menjawab : Barang siapa yang taat kepadaku maka dia masuk surga. Dan barang siapa yang menentangku maka sunggguh dia telah enggan (masuk surga)." (HR. Imam Bukhari)
uqèd Ï%©!$# šYn=y{ Nä3s9 $¨B Îû ÇÚöF{$# $YèŠÏJy_
"Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit." (QS. al-Baqarah : 2/29)
                كافَّة  (Seluruh), Contoh :
!$tBur y7»oYù=yör& žwÎ) Zp©ù!$Ÿ2 Ĩ$¨Y=Ïj9 #ZŽÏ±o0 #\ƒÉtRur
"Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui." (QS. Saba' : 34/28)
                مَعْشَر (Segolongan), Contoh :
uŽ|³÷èyJ»tƒ Çd`Ågø:$# ħRM}$#ur óOs9r& öNä3Ï?ù'tƒ ×@ßâ öNä3ZÏiB tbqÁà)tƒ öNà6øn=tæ ÓÉL»tƒ#uä ö/ä3tRrâÉYãƒur uä!$s)Ï9 öNä3ÏBöqtƒ #x»yd
"Hai golongan jin dan manusia, Apakah belum datang kepadamu Rasul-rasul dari golongan kamu sendiri, yang menyampaikan kepadamu ayat-ayatKu dan memberi peringatan kepadamu terhadap pertemuanmu dengan hari ini?" (QS. al-Anám : 6/130)
  1. مَنْمَاأَيْنَ di dalam makna Majazy
مَنْ (Siapa saja), Contoh :
`tB ö@yJ÷ètƒ #[äþqß tøgä ¾ÏmÎ/
"Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu." (QS. an-Nisa' : 4/123)
مَا (Apa saja), Contoh :
$tBur (#qà)ÏÿZè? ô`ÏB 9Žöyz ¤$uqムöNà6ös9Î) ÷LäêRr&ur Ÿw šcqãKn=ôàè?
"Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya (dirugikan)." (QS. al-Baqarah : 2/272)
أَيْنَ (Dimana saja), Contoh :
$yJoY÷ƒr& (#qçRqä3s? ãNœ3.ÍôムÝVöqyJø9$# öqs9ur ÷LäêZä. Îû 8lrãç/ ;oy§t±B
"Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, Kendatipun kamu di dalam benteng yang Tinggi lagi kokoh." (QS. an-Nisa' : 4/78)
  1. مَنْمَاأَيْنَ di dalam makna Istifham (pertanyaan)
Kamu bertanya: Siapa yang ada di rumah? Maka akan dijawab: (Di rumah ada) Zaid, Bakar, Kholid, dst sejumlah orang yang ada di dalam rumah sampai (nama) yang terakhir.
Apa yang ada padamu? Pakaian, dirham, dll.
Kapan pertolongan Allah (datang)?
Di mana rumahmu ?
  1. أَيٌّ (Siapa saja, Mana saja), Contoh :
$wƒr& $¨B (#qããôs? ã&s#sù âä!$yJóF{$# 4Óo_ó¡çtø:$# 4
"Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai Al asmaaul husna (nama-nama yang terbaik)."
Rasulullah Saw bersabda :
أيُّما امرأةٍ سألت زوجَها الطلاقَ مِن غَيرِ بَأْسٍ فحرامٌ عليها رائِحةُ الجنةِ ( رواه أحمد )
Mafhumnya : Siapa saja wanita yang meminta (menuntut) cerai kepada suaminya tanpa alasan yang dibenarkan maka diharamkan bau surga atas wanita tersebut. (HR. Imam Ahmad)
  1. Nakirah Yang Jatuh Setelah Nafi, Contoh :
(#qà)¨?$#ur $YBöqtƒ žw ÌøgrB ë§øÿtR `tã <§øÿ¯R $\«øx©
"Dan jagalah dirimu dari (azab) hari (kiamat, yang pada hari itu) seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikitpun." (QS. al-Baqarah : 2/48)
  1. Isim-Isim Maushul, seperti : الذي – التي – الذين – اللاتي . Contoh :
¨bÎ) tûïÏ%©!$# tbqè=à2ù'tƒ tAºuqøBr& 4yJ»tGuŠø9$# $¸Jù=àß $yJ¯RÎ) tbqè=à2ù'tƒ Îû öNÎgÏRqäÜç/ #Y$tR (
"Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya." (QS. an-Nisa' : 4/10)
  1. Mema'rifatkan Dengan Idhofah, Contoh :
bÎ)ur (#rãès? |MyJ÷èÏR «!$# Ÿw !$ydqÝÁøtéB 3
"Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah)." (QS. Ibrahim : 14/34)
  1. ال "AL" Yang Masuk Pada Lafadz Jama', Contoh :
¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÏÜÅ¡ø)ßJø9$#
"Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil." (QS. al-Maidah : 5/42)
D. Tentang Fi’il Yang Mutsbat Yang Mempunyai Bagian-Bagian
Fi’il yang mutsbat apabila mempunyai bagian-bagian maka tidak bisa dianggap umum pada semua bagian. Akan tetapi hanya bisa pada satu bagian saja. Jika sudah diketahui (maksudnya) berarti sudah jelas. Kalau belum diketahui berarti fi’il tersebut masih mujmal yang butuh pada penjelasan. Contoh :
صلّى رسول الله صلى الله عليه وسلم بعد غُيُوْبَةِ الشَّفَقِ
Mafhumnya : Rasulullah Saw sholat setelah hilangnya syafaq (mega). (HR. Muslim)
Maka hadits tersebut tidak bisa diartikan bahwa sholat isya’ itu setelah hilangnya dua mega, yaitu mega merah dan mega putih.
كان النبي صلى الله عليه وسلم يجمع بين الصلاتَيْنِ الظهر والعصر والمغرب والعشاء
Mafhumnya : Dulu Rasulullah Saw menjama’ sholat Dzuhur dengan sholat Ásar, sholat Maghrib dengan sholat Ísya’. (HR Muslim)
Maka tidak bisa diartikan menjama’ Takdim di waktu pertama dan menjama’ Ta'khir di waktu kedua.
  1. Datangnya Umum karena Sebab yang Khusus
Yang dianggap adalah umumnya lafadz bukan khususnya sebab. Karena ibadah bagi seorang hamba hanyalah berdasarkan lafadz (dalil) yang datang dari Syari’. Lafadz yang datang karena pertanyaan khusus tidaklah sesuai jika berlaku hanya pada sebab khusus itu saja.
سأل رجلٌ رسولَ الله صلى الله عليه وسلم, فقال : يا رسول الله ! إنّا نركب البحر ونحمل معنا القليل من الماء, فإن توضّأنا به عطشنا, أنتوضّأُ بماء البحر؟ فقال صلى الله عليه وسلم : هو الطهور ماؤه الحلّ ميتتُه ( رواه الترمذي )
Seorang bertanya kepada Rasulullah Saw : 'Ya Rasulullah! Sesungguhnya kami mengarungi lautan dan kami membawa sedikit air. Jika kami berwudlu (dengan air tersebut) maka kami (akan) haus. Apakah kami (boleh) berwudlu dengan air laut?' Maka Rasulullah Saw bersabda : "Laut itu airnya suci mensucikan dan halal bangkainya." (HR. Tirmidzi).
Hadits ini berlaku umum, (baik) dalam keadaan darurat maupun dalam keadaan ikhtiar (normal). Padahal sebabnya dari keadaan darurat.
  1. Tentang Muqtadhy
"Lafadz Muqtadhy bukanlah lafadz umum." Demikian pendapat Jumhurul Ulama’. Al Muqtadhy adalah lafadz yang memerlukan ma’na yang tersimpan. Maksudnya lafadz ini pasti memiliki makna yang tersimpan. Dan makna-makna yang tersimpan tersebut berbilang (lebih dari satu).
Kemudian Apakah semuanya bisa gunakan atau hanya cukup satu saja? (yang dikira-kirakan adalah al muqtado difathah dhodnya). Contohnya adalah sabda Rasulullah Saw :
رفع عن أمتي الخطاءُ والنسيان وما استكرهوا عليه ( رواه ابن حبّان وصحّحه )
Mafhumnya : "Telah diangkat dari umatku kesalahan, lupa dan apa-apa yang dipaksakan kepadanya." (HR Ibnu Hibban dan Beliau meng-shahih-kannya)
Pada hadits ini tidak benar jika tidak ada makna yang diperkirakan. Karena hal tersebut (benar-benar) terjadi pada umat ini. Maka para Ulama’ memperkirakan (ma’na) yang berbeda-beda. Seperti Hukuman, tanggungan dan dosa. Sehingga Jumhurul Ulama’ berpendapat : “Lafadz Muqtadhy tidak bisa dianggap umum. Akan tetapi diperkirakan menurut kehendak yang ditunjukkan oleh dalil. Jika belum ada petunjuk kepada maksud tertentu, maka dianggap mujmal.”
  1. Membuang Ma’mul Berfaidah Umum
Sebagaimana yang diterangkan oleh Ulama’ Bayan. Contoh Firman Allah SWT :
ö@è% ö@yd ÈqtGó¡o tûïÏ%©!$# tbqçHs>ôètƒ tûïÏ%©!$#ur Ÿw tbqßJn=ôètƒ 3
"Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" (QS. az-Zumar : 39/9)
  1. Tentang Penyebutan Sebagian Satuan Lafadz Umum
Penyebutan sebagian satuan-satuan lafadz umum dengan hukumnya itu tidak bisa mentakhsisnya (lafadz umum tersebut). Karena tidak ada yang menafikan. Contoh sabda Rasulullah Saw :
أيُّما إهابٍ دُبِغَ فقد طهُرَ ( رواه مسلم )
Mafhumnya : “Setiap kulit yang disamak itu sungguh telah menjadi suci. (HR. Imam Muslim)
 Serta sabda Rasulullah Saw pada hadits yang lain mengenai masalah kambing Sayyidah Maimunah :
دِبَاغُها طُهُورُها ( رواه ابن حبّان )
Mafhumnya : “Penyamakannya adalah penyuciannya.” (HR. Ibnu Hibban)
  1. Tentang Hukum Lafadz Ámm Setelah Ada Takhsis
Lafadz Ámm setelah ada takhsis tetap sebagai hujah bagi yang tersisa. Karena lafadz yang menuntut untuk mengamalkan masih ada – itulah maksud dari lafadz itu – dan yang bertentangan tidak ada. Berarti jika masih ada yang menetapkan dan tidak ada yang menghalangi, maka wajib menetapkan hukum. Contoh Firman Allah SWT :
ö@è% ô`tB tP§ym spoYƒÎ «!$# ûÓÉL©9$# ylt÷zr& ¾ÍnÏŠ$t7ÏèÏ9
Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya?" (QS. al-A'raf : 7/32)
Dari ayat ini dapat dipahami bahwa seluruh perhiasan diperbolehkan. Kecuali cincin emas untuk orang laki-laki.
إنّ النبي صلى الله عليه وسلم رأى خاتما من ذهب في يد رجلٍ فنزعه وطرحه, وقال صلى الله عليه وسلم : يَمْعِدُ أحدُكم إلى جَمْرَةٍ من نارٍ فيَجْعلُها في يدِهِ ( رواه مسلم )
Mafhumnya : Sesungguhnya Nabi SAW melihat seorang laki-laki memakai cincin emas di tangannya maka Beliau melepas dan melemparkanya, kemudian Beliau bersabda : “Salah seorang dari kalian telah sengaja mengambil bara api neraka dengan meletakkan (cincin emas) di tangannya. (HR. Imam Muslim)
  1. Khitob yang (ditujukan) khusus untuk satu orang itu memberi pengertian umum sehingga ada dalil yang menunjukkan khusus
Sabda Rasulullah Saw:
إنما قولى لامرأةٍ واحدةٍ كقولى لمائةِ امْرَأةٍ ( رواه الترمذي وصحّحه الحاكم )
Mafhumnya : “Perkataanku kepada satu orang wanita adalah seperti perkataanku kepada seratus wanita.” (HR Imam Tirmidzi dan Imam Hakim telah men-shohih-kannya).
Contoh lainnya adalah sabda Nabi Saw ketika Beliau menikahkan seorang laki-laki:
قد أنكحتكما بما معك من القرآن ( متّفق عليه )
Mafhumnya : “Aku nikahkan kamu berdua dengan apa yang ada bersamamu, yakni Al-Qur’an.” (Mutafaqun ‘Alaih)
Jika ada dalil yang menunjukkan kekhususan, maka bermakna khusus. Seperti  Sabda Rasulullah Saw kepada Abu Burdah mengenai Qurban dengan menggunakan anak kambing :
تجزئك ولا تُجْزِئُ أحدًا بَعْدَكَ ( متّفق عليه )
Mafhumnya : “Itu (anak kambing) mencukupimu. Tapi tidak mencukupi untuk seorang pun setelahmu.” (Mutafaqun ‘alaih)
  1. Mengamalkan Dalil Umum Sebelum Mencari Takhsisnya, Tidak Diperbolehkan
Ukuran dalam mencari adalah menurut persangkaan orang yang (terbiasa meneliti) dalil kitab dan sunnah tidak ada  mukhosis (yang mentakhsis).
4.     KHOSH & TAKHSIS ( الخاصّ و التخصيص )
Devinisi
Khosh adalah lafadz yang maknanya tidak bisa mencakup dua perkara atau lebih dari selain batasan. Contoh yang maknanya tidak lebih dari dua yaitu "Seorang Laki-Laki". Contoh yang hanya mempunyai ma’na dua saja yaitu "Dua Orang Laki-Laki". Contoh yang mempunyai makna lebih dari dua tapi dengan batasan yaitu "Tiga Orang Laki-Laki".
Takhsis yaitu mengeluarkan / mengecualikan sebagian perkara yang disebutkan oleh lafadz umum.
Pembagian Mukhosis
Mukhosis terbagi menjadi dua, yaitu : Muttashil dan Munfashil
MUKHOSIS MUTTASHIL
Mukhosis Muttashil adalah mukhosis yang tidak berdiri sendiri ya’ni ma’nanya tergantung dengan lafadz sebelumnya. Mukhosis Muttashil ada beberapa macam, diantaranya:
1). Istitsna’ Muttashil. Contohnya adalah firman Allah SWT :
ÎŽóÇyèø9$#ur ÇÊÈ   ¨bÎ) z`»|¡SM}$# Å"s9 AŽô£äz ÇËÈ   žwÎ) tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏJtãur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# (#öq|¹#uqs?ur Èd,ysø9$$Î/ (#öq|¹#uqs?ur ÎŽö9¢Á9$$Î/ ÇÌÈ
Artinya : "Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. (QS. al-Ashr : 103/1-3)
Syarat-Syarat Istitsna’
a. Harus sambung / gandeng atau dihukumi gandeng dengan yang dikecualikan. Contoh :  batuk dan bersin ini masih dihukumi sambung
b. Harus tidak menghabiskan yang dikecualikan. Para Ulama’ mengatakan, "Pengecualian yang menghabiskan adalah batal/tidak sah. Karena dianggap main-main. Contoh : Saya punya utang pada  seseorang Rp 100.000 kecuali Rp 100.000. Maka pengecualian seperti ini tidak sah. Berarti ia tetap punya utang Rp 100.000.
c. Tidak disertai huruf áthof. Bila disertai berarti tidak sah. Contoh : Saya punya hutang pada Zaid lima dirham dan kalau tidak berarti satu dirham (tetap, dia punya hutang 5 Dirham)
Ketentuan Istitsna’
a). Istisna’ dalam kalam itsbat berarti nafi. Contoh : “ Demi masa…"
b). Istisna’ setelah kalam nafi berarti itsbat. Contoh : “Tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah.”
Hukum Istitsna’ Yang Jatuh Setelah Kalimat-Kalimat Yang Saling Áthof
Istitsna’ yang jatuh setelah kalimat-kalimat yang saling áthof hukumnya dikembalikan kepada semua yang diáthofkan. Karena kalimat-kalimat yang saling áthof dianggap seperti satu kalimat.
Contoh :
tûïÏ%©!$#ur Ÿw šcqããôtƒ yìtB «!$# $·g»s9Î) tyz#uä Ÿwur tbqè=çFø)tƒ }§øÿ¨Z9$# ÓÉL©9$# tP§ym ª!$# žwÎ) Èd,ysø9$$Î/ Ÿwur šcqçR÷tƒ 4 `tBur ö@yèøÿtƒ y7Ï9ºsŒ t,ù=tƒ $YB$rOr& ÇÏÑÈ   ô#y軟Òムã&s! Ü>#xyèø9$# tPöqtƒ ÏpyJ»uŠÉ)ø9$# ô$é#øƒsur ¾ÏmŠÏù $ºR$ygãB ÇÏÒÈ   žwÎ) `tB z>$s? šÆtB#uäur Ÿ@ÏJtãur WxyJtã $[sÎ=»|¹ šÍ´¯»s9'ré'sù ãAÏdt6ムª!$# ôMÎgÏ?$t«Íhy ;M»uZ|¡ym 3 tb%x.ur ª!$# #Yqàÿxî $VJŠÏm§ ÇÐÉÈ  
"Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya Dia mendapat (pembalasan) dosa(nya), (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan Dia akan kekal dalam azab itu, dalam Keadaan terhina, kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; Maka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. al-Furqan : 25/68-70)
2). Syarat.
Syarat termasuk Mukhosis. Contoh :
£`åkçJs9qãèç/ur ,ymr& £`ÏdÏjŠtÎ/ Îû y7Ï9ºsŒ ÷bÎ) (#ÿrߊ#ur& $[s»n=ô¹Î) 4
"Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah." (QS. al-Baqarah : 2/228)
Maksudnya : Suami-suami mereka lebih berhak untuk mengembalikan, apabila mereka menghendaki ishlah pada masa ídah. Dengan syarat jika suami memang menghendaki ishlah yaitu baik dalam bergaul dan menunaikan hak-hak perkawinan.
Contoh yang lain: "Kamu tertalak jika masuk rumah."
Apabila Syarat jatuh setelah jumlah, maka kembali kepada semuanya. Contoh : ” Muliakan Bani Hasyim, berbaiklah pada para Ulama’ dan berilah hadiah kepada Para Ahli Syair, apabila mereka datang kepadamu. Dengan ketentuan, syarat harus sambung dengan kalimat-kalimat tersebut. Karena syarat tidak bisa berdiri sendiri.
3). Sifat.
Sifat termasuk Mukhosis. Contoh :
Apabila dikatakan : "Ada orang datang." Maka kalimat tersebut mencakup "Orang-orang". Akan tetapi jika ditambah “Yang Tinggi”, maka yang dimaksud hanya orang yang tinggi saja. Jika sifat semakin bertambah (banyak), maka yang disifati semakin istimewa. Jika semakin banyak sifat, maka yang disifati semakin sedikit. Contoh tentang kafarah pebunuhan, Allah berfirman :
`tBur Ÿ@tFs% $·YÏB÷sãB $\«sÜyz ㍃̍óstGsù 7pt7s%u 7poYÏB÷sB ×ptƒÏŠur îpyJ¯=|¡B #n<Î) ÿ¾Ï&Î#÷dr&
"Dan Barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu)." (QS. an-Nisa' : 4/92)
Sifat Setelah Jumlah
Sifat setelah jumlah hukumnya kembali kepada semuanya. Contoh : Muliakan Bani Tamim, berbuat baiklah kepada Bani Abdul Muthalib dan berilah hadiah kepada penduduk Yaman yang álim. Contoh lain : “Aku wakafkan hartaku untuk anak-anakku dan aku wasiatkan kepada saudara-saudaraku yang álim." 
4). Ghoyah.
Ghoyah adalah akhir perkara yang menentukan hukum pada kalimat sebelumnya dan menafikan hukum pada kalimat (yang terletak) setelah ghoyah. Contoh :
Ÿwur £`èdqç/tø)s? 4Ó®Lym tbößgôÜtƒ (
"Dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci." (QS. al-Baqarah : 2/222)
¢OèO (#qJÏ?r& tP$uÅ_Á9$# n<Î) È@øŠ©9$# 4
"Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam." (QS. al-Baqarah : 2/187)
5). Badal Ba’du Min Kull.
Badal Ba’du Min Kull termasuk Mukhosis. Contoh :
¬!ur n?tã Ĩ$¨Z9$# kÏm ÏMøt7ø9$# Ç`tB tí$sÜtGó$# Ïmøs9Î) WxÎ6y 4
"Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup Mengadakan perjalanan ke Baitullah." (QS. Ali Ímran: 3/97)
6). Hal.
Secara ma’na Hal mempunyai ma’na seperti sifat. Karena jika ada orang mengatakan: "Muliakan orang yang datang kepadamu (yang datang) dengan naik kendaraan.” Kalimat ini memberikan pengertian bahwa yang dimulyakan adalah khusus bagi orang yang datangya dengan naik kendaraan. Allah Berfirman:
Ÿw (#qç/tø)s? no4qn=¢Á9$# óOçFRr&ur 3t»s3ß 4Ó®Lym (#qßJn=÷ès? $tB tbqä9qà)s?
"Janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan." (QS. an-Nisa' : 4/43)
MUKHOSIS MUNFASHIL
Mukhosis Munfashil adalah Mukhosis yang berdiri sendiri. ia mempunyai beberapa macam diantaranya :
1). Mentakhsis al Qur’an dengan al Qur’an Contoh :
àM»s)¯=sÜßJø9$#ur šÆóÁ­/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spsW»n=rO &äÿrãè% 4
"Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'." (QS. al-Baqarah : 2/228)
Pada ayat ini (wanita-wanita yang ditalak) mencakup wanita-wanita yang hamil maupun yang tidak (hamil). Maka untuk wanita-wanita yang hamil ditakhsis (dikecualikan) dengan ayat : 
àM»s9'ré&ur ÉA$uH÷qF{$# £`ßgè=y_r& br& z`÷èŸÒtƒ £`ßgn=÷Hxq 4
"Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya." (QS. at-Thalaq : 65/4)
Dan untuk wanita yang dicerai sebelum dijima' juga ditakhsis (dikecualikan) dari ayat yang pertama tadi ( والمطلقات يتربّصن ... إلخ ) dengan ayat :
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) ÞOçFóss3tR ÏM»oYÏB÷sßJø9$# ¢OèO £`èdqßJçGø)¯=sÛ `ÏB È@ö6s% br&  Æèdq¡yJs? $yJsù öNä3s9 £`ÎgøŠn=tæ ô`ÏB ;o£Ïã $pktXrtF÷ès? (
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya." (QS. al-Ahzab : 33/49)
2). Mentakhsis al Qur’an dengan as Sunnah Contoh:
ÞOä3ŠÏ¹qムª!$# þÎû öNà2Ï»s9÷rr& ( ̍x.©%#Ï9 ã@÷VÏB Åeáym Èû÷üusVRW{$# 4
"Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu. Yaitu : bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan." (QS. an-Nisa' : 4/11)
Dalam ayat ini (Lafadz anak) mencakup anak yang kafir. Kemudian ayat ini ditakhsis dengan Hadits Nabi :
لا يرث المسلمُ الكافرَ ولا الكافرُ المسلمَ ( متفق عليه )
Artinya : "Orang Islam tidak mewariskan kepada orang kafir, begitu pula orang kafir tidak mewariskan kepada orang islam." (HR. Bukhari-Muslim)
نحنُ معاشرَ الأنبياءِ لا نُوْرَثُ ( رواه أحمد )
Artinya : "Kami, Para Nabi, tidak diwarisi (oleh siapapun)." (HR. Ahmad)
3). Mentakhsis as Sunnah dengan al Qur’an Contoh :
لايقبَلُ اللهُ صلاةَ أحدِكم أَحْدَثَ حتى يتوضَّأْ ( متفق عليه )
Artinya : "Allah tidak menerima sholat salah seorang di antara kalian yang (dalam keadaan) berhadats sehingga mau berwudhu (kemudian sholat)." (HR. Bukhari-Muslim)
Hadits di atas ditakhsis oleh ayat al-Qurán :
bÎ)ur LäêYä. #ÓyÌó£D ÷rr& 4n?tã @xÿy ÷rr& uä!$y_ Ótnr& Nä3YÏiB z`ÏiB ÅÝͬ!$tóø9$# ÷rr& ãLäêó¡yJ»s9 uä!$|¡ÏiY9$# öNn=sù (#rßÅgrB [ä!$tB (#qßJ£JutFsù #YÏè|¹ $Y7ÍhŠsÛ
"Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci)." (QS. an-Nisa' : 4/43)
Hadits-hadits yang menerangkan mengenai tayammum datang setelah turunnya ayat ini.
4). Mentakhsis as Sunnah dengan as Sunnah Contoh :
فيما سقت السماء العشر
Mafhumnya: "Zakat (hasil panen) yang pengairannya dari air hujan adalah seper-sepuluh (10%)."
Hadits di atas ditakhsis dengan hadits :
ليس دون خمسة أوسق صدقة
Mafhumnya : "Tidak ada zakat bagi (hasil panen) yang kurang dari lima wasaq."
5). Mentakhsis menggunakan Qiyas.
Hukum mentakhsis menggunakan Qiyas adalah boleh. Contoh :
Rasulullah Saw bersabda :
لَيُّ الْوَاجِدِ يُحِلُّ عِرْضَهُ وَ عُقُبَتَهُ ( رواه أحمد )
Mafhumnya : "Orang (kaya) yang menunda-nunda (untuk) membayar hutang (sedangkan dia mampu) maka halal (untuk merusak) harga dirinya dan menyakitkan(diri)nya." (HR. Imam Ahmad)
Hadits ini (berlaku) untuk selain anak atas orang tuanya. Adapun orang tua yang menunda-nunda membayar hutang (kepada anaknya) maka tidak halal merusak harga dirinya dan menyakitkan hatinya. Hal ini disamakan dengan tidak bolehnya mengatakan "Uff/Ah" (kepada kedua orang tua) yang termaktub dalam ayat :
Ÿxsù @à)s? !$yJçl°; 7e$é&
"Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "Ah"."(QS. al-Isra' : 17/23)
  1. Mentakhsis menggunakan akal Contoh :
  2. Mentakhsis menggunakan panca indra Contoh :
  3. Mentahsis dengan susunan kalimat Contoh :
Dalil Yang Umum Didasarkan Pada Lafadz Yang Khusus
Dalil yang umum didasarkan pada lafadz yang khusus, karena lafadz yang khusus lebih kuat dari yang umum. Kalau mengamalkan yang umum, berarti mengabaikan yang khusus. Sedangkan mengamalkan yang khusus tidak akan mengabaikan yang umum. Dan mengumpulkan dua dalil yang bertentangan selagi mungkin hukumnya adalah wajib 


1 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.