Home » » LIMA QA’IDAH (TERPENTING) DALAM MENGURAIKAN SEMUA BAB DALAM FIQIH

LIMA QA’IDAH (TERPENTING) DALAM MENGURAIKAN SEMUA BAB DALAM FIQIH

Posted by CB Blogger

Sebagian Ulama’ mengembalikan fiqih kepada lima qaidah yaitu :
1.      الامور بمقاصدها [Segala sesuatu perbuatan tergantung pada tujuannya]
2.      اليقين لا يزال بالشك [keyakinan tidak dapat dihilangkan oleh keraguan]
3.      المشقة تجلب التيسر  [Kesulitan dapat mendatangkan kemudahan]
4.      الضرر يزال  [Kemudharatan itu harus dihilangkan]
5.      العادة محكمة  [Adat kebiasaan dapat dijadikan hukum]
Sulthan al-Ulama’ Izzuddin Abdu as-Salam mengembalikan fiqih kepada dua kalimat saja, yaitu: “Menolak Mafsadah dan Menarik Maslahat”. Sedangkan sebagian ulama’ mengembalikan hanya pada satu kalimat saja, yaitu: “menarik maslahat”
Imam at-Tajj as-Subki berkata, “Yang benar menurutku, jika yang dikehendaki secara global, maka memang demikian. Akan tetapi jika yang dikehendaki secara jelas (terperinci), maka bisa lebih hingga dua puluh, bahkan mencapai dua ratus qa’idah.”


QA’IDAH PERTAMA
الأمُوْرُ بِمَقاصِدِها
Segala sesuatu (perbuatan) tergantung pada tujuannya
Hal-hal yang berkaitan dengan qa’idah ini diantaranya:
DASAR / SUMBER QA’IDAH :
1. Firman Allah تعالى :
ÆtBur ÷ŠÌãƒ z>#uqrO $u÷R9$# ¾ÏmÏ?÷sçR $pk÷]ÏB `tBur ÷ŠÌãƒ z>#uqrO ÍotÅzFy$# ¾ÏmÏ?÷sçR $pk÷]ÏB 4
Artinya : “Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu.” [QS. Ali ‘Imran : 3/145]
2. Sabda Rasulullah SAW:
إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرئ ما نوى, فمن كانت هجرته الى الله ورسوله فهجرته الى الله ورسوله, ومن كانت فهجرته لدنيا  يصيبها او امرأة ينكحها فهجرته الى ما هاجر إليه (متفق عليه)
Artinya : “Sesungguhnya segala amal perbuatan itu tergantung kepada niatnya. Dan setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Barang siapa yang hijrahnya karena Allah تعالى dan Rasul-Nya صلى الله عليه وسلم, maka hijrahnya untuk Allah تعالى dan Rasul-Nya  صلى الله عليه وسلم.  Dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia atau karena wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya untuk apa yang ia tuju." [Muttafaq ‘Alaih]
من أدان ديناً وهو ينوى أن يؤدّيه أدّاه الله يوم القيامة, ومن أدان ديناً وهو ينوى أن لا يؤدّيه فمات قال الله يوم القيامة : ظننتُ أنّي لا آخذ لعبدي بحقه فيؤخذ من حسناته فتجعل في حسنات الآخَرِ, فإن لم يكن له حسناتٌ أُخِذَ من سيّئات الآخر فجعلتْ عليه (رواه الطبراني)
Artinya : “Barang siapa behutang dan berniat membayarnya, maka pasti Allah تعالى akan melunasinya pada hari kiamat. Dan barang siapa berhutang dengan niat tidak membayarnya, maka kemudian ia mati, maka Allah تعالى berfirman, “Engkau menyangka bahwa Aku tidak akan mengambil hak hamba-Ku, maka diambillah kebaikan-kebaikannya kemudian diletakkan pada kebaikan yang lain (yang menghutangi). Apabila ia tidak memiliki kebaikan, maka keburukan yang menghutangi akan diletakkan pada orang yang berhutang.” [HR. Thabrany]
من أتى فراشه وهو ينوي أن يقوم يصلي من الليل فغلبَتْهُ عينَاه حتى أصبحَ كُتِبَ له ما نوى وكان نومه صدقةً عليه من ربّه
(رواه النسائي وابن حبان)
Artinya : “Barang siapa mendatangi tempat tidurnya dan ia berniat akan bangun untuk shalat malam, kemudian kedua matanya mengalahkannya (bangun untuk shalat) hingga waktu subuh, maka akan ditulis baginya menurut apa yang ia niatkan. Sedangkan tidurnya sebagai sedekah dari Rabbnya.” [HR. an-Nasa’i dan Ibnu Hibban]
BAB-BAB FIQIH YANG BISA DIURAIKAN DENGAN MENGGUNAKAN QA’IDAH INI :
Sudah mutawatir di kalangan Para Imam tentang keistimewaan derajat hadits niat. Imam Syafi’y mengatakan bahwa hadits ini adalah sepertiga ilmu. Imam Baihaqy berkata : (Hadits niat ini) adalah sepertiga Ilmu, sebab usaha hamba terletak pada hati, lisan dan anggota-anggota badannya. Sedangkan niat adalah salah satu bagian dari tiga hal tersebut, bahkan yang paling unggul. Karena niat adalah ibadah tersendiri, sedangkan yang lain butuh kepada niat.
Dari sinilah timbul hadits Nabi صلى الله عليه وسلم :
نيّة المؤمن خير من عمله  (رواه الطبراني)
Artinya : “Niat seorang mu’min itu lebih baik dari amalnya.” [HR. Thabrany]
Maksudnya : Niat tanpa amal itu lebih baik daripada amal tanpa niat.
Orang beriman akan kekal di surga sekalipun ia ta’at pada Allah hanya seumur hidupnya saja. Karena ia berniat seandainya tetap (hidup) ia akan selalu teguh pada iman. Sehingga ia diberi balasan berupa kekal (hidup) di dalam surga sebab niatnya. Sebagaimana orang kafir sekalipun ia hanya bermaksiat kepada Allah seumur hidupnya saja, maka ia akan disiksa dengan kekal di dalam neraka. Karena niat dia adalah kufur selama hidupnya.
Bab-bab fiqih yang bisa diuraikan dengan menggunakan qa’idah ini di antaranya:
-       ¼ dari Ibadah (butuh kepada niat) seperti wudhu, mandi baik fardu atau sunnah, sholat dengan segala macamnya, fardu ain dan fardu kifayah, sholat rawatib dan sholat sunah, sholat qosor dan jama, niat jadi imam dan makmum, membayar zakat, menggunakan perhiasan atau menyimpanya, perdagangan, dan menyimpan untuk dimanfaatkan, puasa baik fardu atau sunah, i’tikaf haji dan umroh.
-       ¼ Muamalah (butuh kepada niat),
-       Munakahah,
-       Jinayah.
Maksudnya, didapatkannya pahala hanyalah apabila dilakukan dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah. Bahkan akan menjalar kepada seluruh perbuatan yang mubah apabila bertujuan supaya kuat ibadah dan menjadi perantara ibadah. Seperti makan, tidur, dll. Dengan demikian banyak masalah-masalah yang tidak terhitung masuk dalam qa’idah ini.


ALASAN MENGAPA NIAT DISYARI’ATKAN :
Maksud terpenting (disyari’atkannya niat) adalah untuk membedakan ibadah dan adat kebiasaan serta membedakan tingkatan ibadah sebagian dari yang lain. Contoh :
- Wudhu’ dan mandi bisa untuk pembersihan diri, supaya dingin ataupun untuk ibadah.
- Menahan diri dari makan dan minum ada kalanya untuk penjagaan, pengobatan atau keperluan lain.
- Memberikan harta kepada orang lain ada kalanya sebagai hibah, untuk tujuan duniawi atau sebagai bentuk taqarrub (seperti zakat, sedekah dan kifarah).
- Menyembelih binatang terkadang untuk makan-makan atau untuk taqarrub dengan mengalirkan darah.
Maka (tujuan) disyari’atkan niat adalah supaya dapat dibedakan antara bentuk taqarrub dengan yang lainnya.
Wudhu’, mandi, sholat, puasa dan yang lainnya, terkadang bisa berupa fardhu, nadzar ataupun sunnah. Tayammum terkadang dimaksudkan untuk menghilangkan hadats kecil ataupun jinabat, padahal pelaksanaannya sama. Maka disyari’atkan niat adalah untuk membedakan tingkatan-tingkatan ibadah.
QA’IDAH-QA’IDAH YANG BERKAITAN DENGAN QA’IDAH INI :
a.      ما يشترط فيه التعين فالخطأ فيه مبطل (Sesuatu yang memerlukan penjelasan, maka kesalahan dalam memberikan penjelasan menyebabkan batal).
b.     ما يشترط التعرض له خملة ولا يشترط تعيينه تفصيلا اذا عينه واخطأ ضرَّ (Sesuatu yang memerlukan penjelasan secara global dan tidak memerlukan penjelasan secara rinci, maka ketika salah dalam memberikan penjelasan secara rinci, dapat membahayakan).
c.      ما لا يشترط التعرض له خملة ولا تفصيلا اذا عينه واخطأ لم يضر (Sesuatu yang tidak disyaratkan penjelasan secara global maupun terperinci, ketika ditentukan dan salah dalam menentukannya, maka statusnya tidak membahayakan).
d.     مقاصد اللفظ على نية اللافظ (Maksud sebuah ucapan tergantung pada niat orang yang mengucapkan). Contoh qa’idah-qa’idah sudah diterangkan dalam kitab mabadi awwaliyah. Dikecualikan dari qa’idah nomor empat (d) hanya pada satu tempat saja, yaitu sumpah di hadapan qadhi adalah menurut niat qadhi.
e.      النية في اليمين تخصّص اللفظ العام ولا تعمّم الخاص (Niat dalam sumpah akan mengkhususkan lafadz umum dan tidak akan mengumumkan lafadz khusus). Contoh :
1.      Orang bersumpah menggunakan kata-kata “Saya tidak akan berbicara kepada siapapun”. Padahal yang ia maksud adalah Zaid. Maka (sumpah) hanya tertuju kepada Zaid saja.
2.      Orang bersumpah tidak akan minum air dari pemberian seseorang ketika haus, maka sumpah tersebut hanya tertuju pada air yang ia sifati. Dan dia tidak dianggap melanggar sumpah apabila ia makan dari makanannya, memakai pakaiannya, sekalipun ia berniat tidak akan mengambil manfaat sedikitpun darinya. Berbeda dengan pendapat Imam Asnawy yang mengatakan: النية في اليمين تخصّص اللفظ العام و تعمّم الخاص (Niat dalam sumpah akan mengkhususkan lafadz umum dan akan mengumumkan lafadz khusus).

f.   المنقطع عن العبادة لعذرٍ من أعذارها إذا نوى حضورها لولا العذر حصل له ثوابها (Tidak melaksanakan ibadah sebab ada udzur yang jika seandainya tidak ada udzur dia akan melaksanakannya, maka ia tetap akan mendapatkan pahalanya). Dari Abi Musa, Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:
إذا مرض العبد أو سافر كتب له من العمل ما كان صحيحاً مقيْماً (رواه البخاري)
Artinya : “Jika seorang hamba sakit atau mengadakan perjalanan, maka akan ditulis baginya amalan sebagaimana yang dilakukan ketika ia dalam keadaan sehat atau ketika di rumah. [HR. al-Bukhary]
HAL-HAL YANG BERKAITAN DENGAN NIAT:
Hal-hal yang berkaitan dengan niat ada tujuh, dikumpulkan oleh ungkapan penyair:
حَقِيْقَةٌ حُكْمٌ مَحَلٌّ وَزَمَنْ   *   كَيْفِيَّةٌ شَرْطٌ وَمَقْصُوْدٌ حَسَنْ
1.      Hakekatnya,                      5. Caranya,
2.      Hukumnya,                       6. Syaratnya, dan
3.      Tempatnya,                        7. Tujuannya.
4.      Waktunya,

QA’IDAH KEDUA
اَلْيَقِيْنُ لاَيُزَالُ بِا لشَكِ
“Keyakinan itu tidak dapat dihilangkan dengan keraguan”.
Hal-hal yang berkaitan dengan qa’idah ini di antaranya:
DASAR / SUMBER QA’IDAH :
Sabda Nabi صلى الله عليه وسلم:
اِذَاوَجَدَ أَحَدُ كُمْ فِي بَطْنِهِ شَيْئًا فَأَ شْكَلَ عَلَيْهِ اَخَرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ أَمْ لاَ فَلاَ يَخْرُجَنَّ مِنَ الْمَسْجِدِ حَتَى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيْحًا (رواه مسلم)
Artinya: “Apabila seseorang di antara kalian merasakan sesuatu dalam perutnya. Kemudian dia ragu apakah sesuatu itu telah keluar dari perutnya atau belum. Maka orang tersebut tidak boleh keluar dari masjid sampai dia mendengar suara (kentut) atau mencium baunya”. [HR. Muslim]
إذا شكّ أحدكم في صلاته فلم يدر كم صلّى أثلاثا أم أربعاً فليطرح الشكّ ولْيَبْنِ على ما استيقن (رواه مسلم)
Artinya : “Jika salah seorang di antara kalian ragu di dalam shalat, sehingga ia tidak mengetahui berapa roka’at ia telah shalat, baru tiga atau sudah empat roka’at, maka hendaknya ia buang keraguannya dan meneruskan atas apa yang ia yakini.” [HR. Muslim]

QA’IDAH-QA’IDAH YANG BERKAITAN DENGAN QA’IDAH INI :
Qa’idah-qa’idah lain yang berkaitan dengan qa’idah ini, di antaranya:
a.      الأصل بقاء ما كان على ما كان (Pada dasarnya ketetapan suatu perkara tergantung pada keberadaan semula).
b.     الأصل براءة الذمة (Hukum asal adalah tidak adanya tanggungan).
c.      الأصل العدم (Hukum asal adalah ketiadaan).
d.     الأصل في الأشياء الإباحة (Hukum asal segala sesuatu adalah boleh).
e.      الأصل فى كل حادث تقديره بأقرب زمانه (Asal segala kejadian diperkirakan dengan yang lebih dekat zamannya). Contoh-contoh qa’idah ini sudah diterangkan dalam kitab mabady awwaliyah.
f.       من شكّ أفعل شيئاً أم لأ فالأصل أنه لم يفعله (Barang siapa yang ragu apakah ia sudah melaksanakan sesuatu atau belum, maka aslinya ia belum melaksanakannya).
g.      من تيقن الفعل وشك في القليل أو الكثير حمل على القليل  (Barang siapa sudah yakin melakukan pekerjaan dan dia ragu dalam masalah sedikit atau banyaknya, maka yang dimungkinkan adalah yang sedikit).
h.     ما ثبت بيقين لا يرتفع إلا بيقين (Perkara yang sudah ditetapkan berdasarkan yaqin, maka tidak bisa hilang kecuali dengan yakin juga).
i.         اَلأَصْلُ فِي الكَلاَمِ الحَقِيْقَةُ (Hukum asal dari suatu kalimat adalah arti yang sebenarnya). Contoh :
-       Jika seseorang berwakaf kepada anak-anaknya atau berwasiat kepada mereka, maka tidak bisa memasukkan cucu menurut pendapat yang ashah. Karena penyebutan anak secara hakiki adalah anak kandung.
-       Jika seseorang bersumpah tidak akan bertransaksi jual beli kemudian mewakilkan transaksi tersebut kepada orang lain, maka ia tidak melanggar sumpah. Sebab mengikuti hakikat sumpahnya.
-       Jika seseorang berkata, “Rumah ini adalah milik Zaid”, maka kata-katanya telah menetapkan kepemilikan kepada Zaid. Sehingga jika ia mengatakan yang saya kehendaki dari kata-kata itu adalah “rumahku”, maka tidak perlu didengar.
j.       اَلأَصْلُ في الأبضاع التحريم (Hukum asal kemaluan wanita adalah haram). Dalilnya firman Allah تعالى :
tûïÏ%©!$#ur öNèd öNÎgÅ_rãàÿÏ9 tbqÝàÏÿ»ym *   žwÎ) #n?tã öNÎgÅ_ºurør& ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNåkß]»yJ÷ƒr& öNåk¨XÎ*sù çŽöxî šúüÏBqè=tB *  Ç`yJsù 4ÓxötGö/$# uä!#uur y7Ï9ºsŒ y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbrߊ$yèø9$# *
Artinya : “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki. Maka Sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa. Barangsiapa mencari yang di balik itu. Maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas.” [QS. al-Mu’minun: 23/5-7]
Contoh-contoh qa’idah ini sudah diterangkan dalam kitab mabady awwaliyah.
k.     اَلأَصْلُ في المنكوحة والمملوكة الحلال (Hukum asal wanita yang sudah dinikahi dan yang sudah dimiliki adalah halal). Dalilnya adalah ayat di atas. Imam Suyuti mengatakan, “Qa’idah ini masuk pada seluruh bab fiqih. Dan masalah-masalah yang diuraikan darinya mencapai ¾nya atau lebih.”




PEMBAGIAN SYAKK :
Syakk terbagi menjadi tiga macam, yaitu :
-       Syakk yang timbul dari perkara yang asli hukumnya haram,
-       Syakk yang timbul dari perkara yang asli hukumnya mubah, dan
-       Syakk yang timbul dari perkara yang asli hukumnya tidak diketahui.
Contoh-contohnya :
a.      Seseorang mendapati kambing dalam keadaan sudah disembelih, kemudian ragu akan petunjuk yang menghalalkan (tidak tau yang menyembelih), seandainya di tempat itu mayoritas penduduknya adalah muslim, maka boleh memakannya. Karena mengikuti umum-nya yang dapat difahami secara nyata.
b.     Jika ditemukan air sudah dalam keadaan berubah dan ada kemungkinan bahwa perubahan itu disebabkan oleh najis atau karena lamanya diam, maka diperbolehkan bersuci dengan menggunakan air tersebut. Karena mengikuti asal hukum air tersebut adalah suci.
c.      Jika seseorang yang kebanyakan hartanya adalah haram, tetapi tidak ada bukti yang menyatakan bahwa harta yang akan diambil tersebut adalah yang haram, maka boleh bertransaksi jual beli dengannya. Karena ada kemungkinan halal dan tidak ada bukti yang mengharamkan. Akan tetapi hukumnya makruh. Sebab khawatir terjerumus kepada perkara yang haram. Telah selesai keterangan yang disampaikan oleh Imam al-Isfirayini.


QA’IDAH KETIGA
اَلْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرَ
“Kesulitan akan mendatangkan kemudahan.”
Hal-hal yang berkaitan dengan qa’idah ini diantaranya:
DASAR / SUMBER QA’IDAH :
1. Firman Allah تعالى :
ã߃̍ムª!$# ãNà6Î/ tó¡ãŠø9$# Ÿwur ߃̍ムãNà6Î/ uŽô£ãèø9$#
Artinya : “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” [QS. al-Baqarah: 2/185]
1.  Sabda Nabi صلى الله عليه وسلم:
بُعِثْتُ بالحنفيّة السمحة (أخرجه أحمد)
Artinya : “Aku diutus dengan membawa agama yang lurus dan longgar.” [HR. Ahmad]
وعن ابن عباس قيل : يا رسول الله! أي الأديان أحبّ إلى الله؟ فقال : الحنفيّة السمحة (رواه الطبراني والبزار)
Artinya : Diriwayatkan dari Abu Hurairah Rasulullah صلى الله عليه وسلم ditanya:  “Wahai Rasulullah صلى الله عليه وسلم ! Agama manakah yang paling dicintai oleh Allah تعالى ? maka Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda: “(Agama) yang lurus dan longgar”. [HR. at-Thabrany dan al-Bazzar]
Seluruh rukhsah syari’at dan keringanannya dapat diuraikan melalui qa’idah ini.

HAL-HAL YANG MASUK DALAM MAKNA QA’IDAH INI :
Bisa masuk pada kaidah ini adalah perkataan al-Imam as-Syafi’i : “Jika perkara sudah menjadi sempit maka akan menjadi longgar.” Dengan perkataan ini, beliau menjawab pertanyaan di tiga tempat, yaitu:
a.      Ketika seorang wanita tidak ada wali dalam perjalanan, kemudian ia menyerahkan perwaliannya kepada orang lain. Maka Yunus bin Abdil A’la berkata: Saya telah bertanya kepadanya (al-Imam as-Syafi’i), bagaimana hal ini? Beliau menjawab: “Jika perkara sudah sempit maka akan menjadi longgar.”
b.     Suatu wadah dari tanah liat yang terbuat dari kotoran binatang, apakah boleh berwudhu dengan menggunakan wadah tersebut? Maka beliau menjawab: “Jika perkara sudah sempit maka akan menjadi longgar.”
c.      Ketika ditanya mengenai masalah lalat yang hinggap di kotoran kemudian hinggap di pakaian. Maka beliau menjawab, “Jika ketika terbang kakinya kering, maka tidak mengapa. Tetapi jika basah, maka suatu perkara apabila sudah sempit dia akan menjadi longgar.”

KEBALIKAN DARI QA’IDAH INI :
Para ulama’ memiliki kebalikan dari qa’idah ini, yaitu:
إذا اتسع الأمر ضاق
Jika perkara sudah longgar maka akan menjadi sempit.”
Putra Abu Hurairah berkata, “Dalam ilmu ushul fiqih yang digunakan untuk menentukan suatu perkara adalah apabila suatu perkara sudah sempit maka akan menjadi longgar dan jika sudah longgar maka akan menjadi sempit.”
Gerakan sedikit dalam sholat ketika terpaksa dikerjakan maka ditoleransi. Akan tetapi jika banyak dan tidak ada keperluan, maka tidak bisa ditoleransi. Begitu pula sedikit atau banyaknya kutu.
Imam Ghozali mengumpulkan dua qa’idah ini dengan ungkapan:
كل ما تجاوز حدّه انعكس إلى ضدّه
“Semua perkara jika sudah melewati batasnya, maka akan berubah menjadi kebalikannya.”
SEBAB-SEBAB TAKHFIF (PERINGANAN) :
Sebab-sebab takhfif dalam ibadah atau yang lainnya ada tujuh, yaitu:
a.  Safar. Rukhshohnya banyak, di antaranya :
-   meng-qashar,
-   men-jama’,
-   berbuka, dan
-   mengusap muzah lebih dari sehari semalam.
b.  Sakit. Rukhshohnya banyak, di antaranya:
-   tayamum ketika kesulitan menggunakan air,
-   duduk dan tidur miring dalam shalat,
-   men-jama’ shalat,
-   tertinggal shalat jama’ah dan shalat jumat, tetapi masih mendapatkan pahalanya,
-   berbuka pada bulan Ramadhan, dan
-   berobat dengan menggunakan barang najis.
c.  Terpaksa. Maka diperbolehkan mengucapkan kalimat kufur ketika dipaksa. Sebagaimana Firman Allah تعالى :
žwÎ) ô`tB on̍ò2é& ¼çmç6ù=s%ur BûÈõyJôÜãB Ç`»yJƒM}$$Î/
Artinya : “Kecuali orang yang dipaksa kafir Padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa)” [QS an-Nahl : 16/106]
Begitu pula minum khamr dan yang lainnya (maka tidak berdosa jika dilakukan dalam keadaan dipaksa)
d.  Lupa. Dosa akan diangkat sebab lupa. Contoh:
-   Makan ketika puasa bulan Ramadhan karena lupa,
-   Seseorang salam ketika dua roka’at karena lupa. Kemudian ia sengaja berbicara karena menyangka sholatnya sudah sempurna, maka sholatnya tidak batal.
Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda :
إنّ الله وضع عن أمتى الخطأ  والنسيان وما استكرهوا عليه
Artinya : ”Sesungguhnya Allah telah menetapkan salah, lupa pada ummatku dan perkara-perkara yang mereka lakukan karena terpaksa.” [Hadits ini adalah hadits hasan. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Ibnu Hibban]
e.  Bodoh (tidak mengetahui). Contoh:
-   Berbicara ketika sholat tidak batal jika tidak tahu hukumnya,
-   Orang yang meminjam barang setelah diambil oleh yang meminjami, maka tidak wajib membayar upah jika ia tidak tahu.
f.   Kurang, kurang juga termasuk masyaqqah. Sebab fitrah manusia wataknya adalah mencintai kesempurnaan. Sehingga perlu ada keringanan dalam setiap pembebanan. Contoh:
-   Anak kecil dan wanita tidak memiliki kewajiban sebanyak laki-laki. Seperti kewajiban shalat jama’ah, shalat jum’at dan membayar jizyah.
-   Budak tidak dibebani perkara melebihi yang wajib atas orang merdeka. Dalam hal hukuman mereka hanya dibebani separo dibandingkan orang merdeka.
g.  Sulit dan wabah/penyakit yang merata. Seperti sholat dengan membawa najis yang dima’fu semisal darah cacar, bisul dan lumpur jalanan.
Diantaranya lagi :
-   Disyari’atkan istinja’ dengan batu. Boleh menghadap atau membelakangi kiblat ketika istinja’ di dalam bangunan dan boleh memakai kain sutra bagi laki-laki karena terkena penyakit gatal.
-   Boleh jual beli delima dan telur di dalam kulitnya. Boleh jual beli dalam tanggungan jika disebut sifat-sifatnya (akad jual beli salam). Disyari’atkan khiyar dalam jual beli. Karena dalam jual beli umumnya tidak meneliti barang yang ia beli sehingga terjadi penyesalan bagi yang ber-akad. Maka dimudahkan oleh syari’at dengan diberikan khiyar majlis dan khiyar syarat sampai tiga hari.
-   Boleh melihat wanita ketika khitbah, mengajar, bersaksi, mu’amalah dan mengobati.
-   Boleh menikahi wanita walaupun tanpa melihat terlebih dahulu. Karena jika disyaratkan melihat akan menimbulkan kesulitan bagi kebanyakan orang terhadap anak-anak, saudara-saudara  wanita mereka. Maka dimudahkan oleh syari’at dengan tidak disyaratkan bagi setiap yang melamar untuk melihat. Lain halnya dengan jual beli. Jika disyaratkan harus melihat, maka tidak akan menimbulkan kesulitan dan kepayahan.
-   Disyari’atkan wasiat karena didapatkan-nya kelalaian seseorang ketika masih hidup. Dan dilonggarkan pada 1/3 hartanya saja, tidak boleh melebihi. Dengan maksud untuk mencegah kemudharatan bagi ahli waris, sehingga akan didapatkan kemu-dahan dan terhindar dari kesulitan dari dua sisi.
-   Gugurnya dosa bagi mujtahidin dalam kekeliruan. Dan dimudahkan bagi mereka dengan cukup pada tingkat dzonn saja. Seandainya mereka diberi beban harus sampai tingkat yaqin, maka akan payah dan susah untuk mencapainya.
Maka jelaslah bahwa kaidah ini akan bisa menguraikan kebanyakan permasalahan dalam bab-bab fiqih.

MACAM-MACAM TAKHFIF :
Macam-macam takhfif ada Tujuh, yaitu:
a.      Keringanan dengan cara menggugurkan, seperti gugur kewajiban jum’at ketika ada udzur.
b.     Keringanan dengan cara mengurangi, seperti diperbolehkan shalat qashar.
c.      Keringanan dengan cara mengganti, seperti diperbolehkan mengganti wudhu dan mandi dengan tayammum.
d.     Keringanan dengan cara mendahulukan, seperti diperbolehkan shalat jama’ dan mendahulukan zakat sebelum satu tahun.
e.      Keringanan dengan cara mengakhirkan, seperti diperbolehkan shalat jama’ dan mengakhirkan puasa Ramadhan bagi orang sakit dan musafir.
f.       Keringanan dengan cara memurahkan, seperti diperbolehkan minum khamr karena tersedak.
g.      Keringanan dengan cara merubah, seperti diperbolehkan merubah aturan shalat ketika terjadi kekhawatiran (perang).


QA’IDAH KEEMPAT
الضرر يزال
“Sesuatu yang membahayakan harus dihilangkan.”
Hal-hal yang berkaitan dengan qa’idah ini diantaranya:
DASAR / SUMBER QA’IDAH :
1. Firman Allah تعالى :
Ÿwur (#rßÅ¡øÿè? Îû ÇÚöF{$# y÷èt/ $ygÅs»n=ô¹Î)
Artinya : “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya” [QS. al-A’raf : 7/56]
ƨbÎ) ©!$# Ÿw =Ïtä tûïÏÅ¡øÿßJø9$#
Artinya : “Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” [QS. al-Qashas : 28/77]
2. Sabda Nabi صلى الله عليه وسلم :
لا َضَرَر َوَلاَ ضِرَارَ (رواه مالك والدارقطني)
Artinya : “Tidak boleh membuat kerusakan pada diri sendiri serta kerusakan pada orang lain.” [HR. Malik dan ad-Daruquthny)
PERMASALAHAN FIQIH YANG DIBANGUN DI ATAS QA’IDAH INI :
Banyak permasalahan dalam bab fiqih yang dibangun diatas kaidah ini di antaranya :
Mengembalikan barang yang rusak dan segala macam khiyarnya menurut sifat yang disyaratkan (dalam akad), ta’zir, pembeli yang muflis (pailit) dan larangan tasharuf terhatap harta bendanya dengan segala macamnya, syuf’ah untuk menolak terjadinya mudharat dalam pembagian, qishash, hudud, kifarah, mengganti barang yang dirusak, mengangkat pemimipin, mengangkat qadhi, membela diri dari orang yang berbuat jahat, memfasakh nikah sebab aib atau tidak mampunya suami memberi nafkah dan lain-lain.
QA’IDAH-QA’IDAH YANG BERKAITAN DENGAN QA’IDAH INI :
Qa’idah-qa’idah lain yang berkaitan dengan qa’idah ini, di antaranya:
a. اَلضَّرُورَات تُبِيْعُ الْمَحْظُوْرَاتِ  (Kemadharatan itu membolehkan yang dilarang). Dalam ibarat lain disebutkan: لاحرام مع الضرورة ول اكراهة مع الحاجة   (Tidak ada hukum haram ketika ada darurat, tidak ada hukum makruh ketika ada hajat).
b. ما أبيح للضرورة يقدر بقدرها  (Sesuatu yang diperbolehkan karena darurat, ditetapkan hanya sekedar kedaruratannya)
c. ماَ جاَز لِعُذْر بَطَلَ بِزَوَالِهِ (Apa saja yang kebolehannya karena udzur, maka hilangnya kebolehan itu disebabkan oleh hilangnya udzur tersebut). Contoh:
- Persaksian atas persaksian karena sakit atau yang lainnya dianggap batal apabila telah hadir saksi yang asli kepada hakim.
- Tayammum batal lantaran diketemukan air sebelum waktu sholat.
d. اَلضَّرَر لا يُزَالُ بالضَّرَرِ (Kemudharatan tidak bisa hilang dengan kemudharatan lain).  Sebab jika bisa dihilangkan oleh kemudharatan yang lain, maka tidak benar pernyataan qa’idah:  اَلضَّرَر يُزَالُ (Sesuatu yang membahayakan harus dihilangkan).
e. درء المفاسد مقدم على جلب المصالح  (Menolak kerusakan harus didahulukan daripada mendatangkan kemaslahatan). Jika terjadi berlawanan antara mafsadah (kerusakan) dan maslahat, maka yang didahulukan adalah menolak kerusakan. Karena tuntutan syari’at untuk meninggalkan larangan lebih kuat daripada tuntutan terhadap perintah. Sebab Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda :
اٍذا أمرتكم بأمر فأتوا منه ما استطعتم، واذا نهيتُكم عن شيئٍ فاجتَنِبُوْهُ (روه البخاري و مسلم)
Artinya : “Apabila aku memerintahkan kepadamu suatu perintah, maka kerjakanlah semampumu. Dan apabila aku melarang kamu sesuatu perbuatan, maka tinggalkanlah”. [HR. al-Bukhari dan Muslim]
Dari sini dapat dipahami bahwa meninggalkan perkara wajib diperbolehkan hanya dengan adanya kesulitan yang ringan. Seperti mendirikan sholat, berbuka ketika puasa Ramadhan dan lain-lain. Sedangkan dalam masalah larangan tidak ada keringanan untuk dilanggar. Apalagi dosa-dosa besar.
f. اذا تعارض المصلحة والمفسدة روعى أرحجهما  (Apabila terjadi perlawanan antara kerusakan dan kemaslahatan, maka harus diperhatikan mana yang lebih rajih (kuat) di antara keduanya”. Allah تعالى berfirman:
y7tRqè=t«ó¡o ÇÆtã ̍ôJyø9$# ÎŽÅ£÷yJø9$#ur ( ö@è% !$yJÎgŠÏù ÖNøOÎ) ׎Î7Ÿ2 ßìÏÿ»oYtBur Ĩ$¨Z=Ï9 !$yJßgßJøOÎ)ur çŽt9ò2r& `ÏB $yJÎgÏèøÿ¯R 3
Artinya : Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". [QS. al-Baqarah : 2/219]
Sungguh maslahat harus diperhatikan. Karena maslahat tersebut mengalahkan mafsadah. Misalkan bohong adalah kerusakan yang diharamkan. Akan tetapi ketika ada maslahat yang melebihi maka diperbolehkan. Contoh: Berbohong untuk mendamaikan orang atau istri yang berselisih (adalah diperbolehkan).
g. اَلْحاَجَةُ قد تنزلُ مَنْزِلَةَ الضُّرُوْرَةِ عَامَّةً  كَانَتْ أَوْ خَاصَّةً (Kedudukan hajat itu menempati kedudukan darurat baik umum maupun khusus). Di antara contohnya adalah :
- Umum : Disyari’atkan ijarah, ji’alah , hiwalah dan lain-lain.
- Khusus : Menambal wadah menggunakan perak diperbolehkan ketika ada keperluan. Me-makai sutra karena ada kutu dan gatal. Dan masih banyak contoh lain yang telah di-terangkan dalam kitab “Mabadi Awwaliyyah”
FAEDAH :
Dalam kaidah ini ada lima tingkatan, yaitu darurat, Kebutuhan, manfa’at, berhias dan  berlebihan.
1.      Darurat adalah permasalahan yang sudah mencapai tingkat tertentu. Jika tidak melakukan perkara yang dilarang, maka akan mati (rusak) atau mendekati kematian.
2.      Kebutuhan adalah seperti Lapar. Jika ia tidak mendapatkan makanan, maka ia tidak sampai mati. Akan tetapi ia akan mengalami kesulitan dan kepayahan.
3.      Manfa’at adalah seperti menyukai roti gandum dan menyukai daging kambing.
4.      Ziinah (berhias) adalah seperti menyukai manisan, gula, pakaian bertenun baik dari kain sutra dan katun.
5.      Fudhul (Berlebihan), misalkan berlebih hingga makan perkara haram atau syubhat.

QA’IDAH KELIMA
اَلْعَادَةُ مُحَكَّمَةٌ
“Adat kebiasaan dapat dijadikan hukum.”
Hal-hal yang berkaitan dengan qa’idah ini di antaranya:
DASAR / SUMBER QA’IDAH :
1. Firman Allah تعالى :
Éè{ uqøÿyèø9$# óßDù&ur Å$óãèø9$$Î/ óÚ̍ôãr&ur Ç`tã šúüÎ=Îg»pgø:$#
Artinya : “Jadilah engkau pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh. [QS. al-A’raf : 7/199]
- Urf adalah ‘Adah (kebiasaan)
£`èdrçŽÅ°$tãur Å$rã÷èyJø9$$Î/ 4
Artinya : “Dan bergaullah dengan mereka secara patut.” [QS. an-Nisa’ : 4/19]
- Ma’ruf adalah apapun yang dikenal oleh akal dan diterima oleh ummat.



PERMASALAHAN FIQIH YANG BISA DIURAIKAN DI ATAS QA’IDAH INI :
Permasalahan fiqih yang tak terhitung banyaknya akan bisa diuraikan dengan qa’idah ini. Di antaranya: Usia wanita haid, Usia inzal, paling sedikit / rata-rata / paling banyaknya masa haid, nifas dan suci, patokan banyak atau sedikit gerakan yang membatalkan sholat, mendirikan sholat jum’at dan khutbahnya, hukum ijab dan qabul, mengucapkan salam dan menjawabnya, mengundur-undur waktu, mengembalikan barang catat yang tidak diperbolehkan, batas penyimpanan harta yang dicuri, batas melepas binatang ternak pada waktu siang dan malam.
Jika di suatu negeri berlaku kebiasaan yang berlawanan dengan kebiasaan yang ada, maka bisa diberlakukan juga kebiasaan negeri tersebut.
SYARAT KEBIASAAN (BISA BERLAKU SUATU HUKUM) :
Syarat adapt bisa berlaku hukum adalah kebiasaan tersebut masih berlaku. Jika tidak berlaku, maka tidak bisa menjadi hukum dan perlu adanya penjelasan. Misalkan, jika di suatu negeri berlaku muamalat menggunakan beberapa mata uang dan tidak ada yang lebih dominan dalam penggunaannya maka harus ada penjelasan. Jika tidak dijelaskan, maka akad jual beli atau akad lain tidak sah.

FAEDAH :
Pertama : العادة المطردة في ناحية لا تنزل منزلة الشرط
“Kebiasaan yang berlaku di suatu tempat tidak bisa menduduki kedudukan syarat”.
Imam Qaffal berkata : العادة المطردة في ناحية تنزل منزلة الشرط (Kebiasaan yang berlaku di suatu tempat bisa menduduki kedudukan syarat). Contoh:
-   Jika sudah menjadi kebiasaan boleh meng-ambil manfa’at dari barang yang digadaikan, maka apakah kebiasaan tersebut bisa men-duduki kedudukan syarat sehingga akad gadai menjadi rusak? Kebanyakan Ulama’ berpen-dapat “Tidak”. Sedangkan Imam Qaffal me-ngatakan, “Ya”.
-   Jika sudah berlaku kebiasaan bahwa orang yang berhutang terbiasa mengembalikan hutang melebihi apa yang dihutang, maka apakah kebiasaan tersebut bisa menduduki kedudukan syarat sehingga menghutanginya adalah haram? menurut Qaul Ashah adalah tidak.
Kedua : كلّ ما ورد به الشرع مطلقاً ولا ضابط له فيه ولا في اللغة يُرْجَعُ فيه إلى العرف
“Segala sesuatu yang datang dari syari’at secara mutlaq dan tidak ada patokan baik dari segi syari’at maupun bahasa, maka dekembalikan kepada kebiasaan.”
Contoh:
-   Batas penyimpanan harta bagi hukum pencu-rian.
-   Batas berpisah dalam jual beli dan qabdh (se-rah terima).

-   Batas masa haid dan ukurannya.


1 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.